zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Sama Berbeda


Diana dan Lara, keduanya masih balita. Diana yang sudah bisa membaca selalu dianggap lebih pintar daripada Lara yang memang belum lancar mengeja deretan huruf. Padahal, di dunia ini banyak orang-orang pintar yang pada masa kecilnya kesulitan untuk membaca dan menulis karena mengidap disleksia. Tidak perlu saya sebutkan contohnya.

Dio yang tidak mendapatkan nilai 100 pada ulangan matematika dicap sebagai anak yang tidak pintar. Di setiap kelas matematika Dio terus ditekan agar ulangannya bisa mendapatkan nilai 100. Padahal Dio lebih suka menggambar dan melukis.

Di SMA, jurusan IPA selalu dianggap jurusan yang paling prestisius. Anak IPA sering dianggap lebih berponsi untuk sukses daripada anak IPS maupun Bahasa. Secara empiris ini tidak terbantahkan lagi.

Harus kita akui bahwa di dunia ini ada sebuah konsensi siri tidak tertulis berisi norma-norma yang sering dianggap sebagai norma sosial, padahal bukan. Konsensi dalam rangka standardisasi untuk menyeragamkan persepsi. Sadari atau tidak kita sadari itu telah terjadi. Misalnya adalah konsensi untuk menyeragamkan definisi cantik secara fisik. Cantik adalah berkulit putih, berhidung mancung, dan bla bla bla.

Begitu pula dengan konsensi untuk menyeragamkan definisi pintar. Di sekolah, seperti cerita di awal tadi, anak yang pandai dalam pelajaran matematika akan dianggap lebih pintar daripada anak yang pandai dalam pelajaran seni.

Ketika ini sudah tertanam di dalam alam bawah sadar, akan ada efek negatif yang timbul. Anak yang memiliki bakat yang tidak sesuai dengan jalur mainstream dalam konsensi tersebut akan mendapatkan hambatan dari lingkungan dan orang sekitarnya, orang tua, guru, dan/atau teman sebaya.

Kita dilahirkan sama-sama berbeda. Kita mempunyai hak yang sama untuk meraih sukses. Terlepas dari apapun definisi sukses yang kita pegang. Akan tetapi, kita tidak dianugerahi otak yang sama persis. Bukan soal kapasitas, tapi soal kecenderungan. Ada yang cenderung lebih mudah mempelajari bahasa, dalam waktu singkat dia mampu menguasai suatu bahasa asing. Ada yang lebih mudah memahami rumus-rumus fisika, soal-soal fisika yang begitu rumit dikerjakannya dalam waktu singkat. Dan lain-lain dan lain-lain.

Ketika kita sudah terjebak ke dalam konsensi tidak tertulis tadi dan kita tidak menerima dampak positif dari konsensi tersebut, itulah tantangannya. Tidak perlu menjadi minder jika seandainya kita dinilai rendah oleh konsensi tersebut. Harus tetap kita ingat bahwa kita dilahirkan dengan hak yang sama tetapi tidak diharuskan untuk melalui jalan yang sama. Apa yang orang lain anggap baik, belum tentu baik untuk kita.

Jalan untuk menjadi berbeda dan unik akan semakin melebar. Jika sewaktu SD dan SMP begitu gencarnya arus penyeragaman itu, di SMA dan bangku kuliah arus itu kian berkurang. Di bangku kuliah manusia dididik untuk lebih dewasa dan bertanggung jawab dalam menentukan pilihan. Lebih bebas untuk memilih semester ini mau belajar apa dan seberapa banyak macam yang ingin kita pelajari. Meski tidak semua orang diajarkan untuk dapat mengambil keputusan dan mempertanggungjawabkan pilihannya dengan cara seperti itu.

Ketika kita sudah bisa terbebas dari sistem yang ingin menyeragamkan manusia-manusia yang sebernarnya memiliki keunikan masing-masing, artinya kita sudah merdeka. Meski definisi terjajah dan merdeka itu sendiri akan terus mengalami perluasan makna.

"Lo nulis apaan sih, Mat?"

Entahlah, ini hanya lamunan di atas pagi yang terombang ambing dalam arus penyeragaman. Arus penyeragaman di bawah tangan yang termuat dalam konsensi siri yang tidak tertulis. Ketika ada yang menganggap ini hanyalah sebuah pembenaran. Sejatinya dia telah lebih dulu membantah anggapannya tersebut. Lihat! anggapan dan argumen kita saja sudah berbeda. Itu bukti kalau kita memang sama-sama berbeda. Setiap manusia itu unik. Tapi tidak semua manusia berani menunjukkan keunikannya, takut mendapat sanksi dari konsensi siri dan tidak tertulis.

Megamendung, hari ke dua puluh bulan ke tiga tahun dua ribu tiga belas.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

6 komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah salah klik, mau balas komentar malah kehapus. -_______-

      Hapus
  2. saya disleksia dan terus terang aja dalam beberapa situasi menjadi sangat tidak menyenangkan :) saya paling gak suka ketika disuruh membaca sesuatu di depan umum karena pasti ada banyak kata yang salah eja, berasa di neraka deh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi keren karena sudah bisa melawan semua itu dengan mampu berbicara di depan umum, di blog. :)

      Hapus
    2. saya pergunakan menulis untuk terami menyusun kalimat :) sebelumnya saya susah menyampaikan maksud saya, karna kata2 yg kebalik. selain itu menulis saya gunakan sebagai cara saya menyampaikan isi pikiran saya pada dunia tanpa harus mengatakannya,

      Hapus
    3. Iya, saya juga menggunakan blog untuk belajar berbicara di depan umum. Dengan rutin menulis, apa yang kita sampaikan saat berbicara bisa lebih terstruktur. :D

      Hapus