zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Bermain dengan Bahagia


Tangan kecil bidadari
Lembutnya menyentuh pipiku
Temaram senja dia menghadang
Rapuh ku menghilang

Alunan musik punk rock membuat saya lebih bersemangat untuk berlari. Lari mengelilingi taman kota. Lari dari kenyataan. Saya hanya mencoba untuk menikmati sisi lain kota Jakarta yang jarang terekspos. Media-medi lebih senang memberitakan kemacetan dan tindakan kriminal di ibu kota daripada mendongengkan keindahan-keindahannya.

Akhir-akhir ini saya memang lebih sering bermain di taman kota daripada di mall. Bedebah. Bermain dengan Bahagia. Begitu saya ingin menyebutnya. Versi terbaru dari Kelabing. Keliaran Bingung. Taman Suropati, Lapangan Banteng, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan Monas. Itu baru segelintir dari sekian banyak taman-taman yang berserakan di ibu kota. Alasannya sederhana. Saya tidak akan merasakan kebahagiaan bermain di Taman Suropati atau di Monas jika saya hanya bermain di Lapangan Banteng.

Masih ingat cerita tentang bagaimana pawang gajah bisa membuat gajah tunduk patuh?

Sejak kecil, kaki gajah diikat dengan rantai baja yang sangat kuat. Rantai itu dikaitkan pada sebuah tonggak baja yang besar dan kuat. Alhasil, gajah kecil hanya bisa berjalan sejauh bentangan rantai. Sekuat apapun gajah kecil tadi mencoba melarikan diri, usahanya akan sangat sia-sia.

Hal ini berlangsung sampai gajah tumbuh besar. Apa yang terjadi? Ternyata gajah tersebut menyerah dengan keadaan. Di benaknya apa yang berada di pergelangan kakinya itu adalah rantai baja yang sama, yang kekuatannya jauh lebih besar darinya. Padahal pawang telah menggantinya dengan seutas tali ijuk. Di benaknya, apa yang dilakukan hanya semata-mata mengikuti perintah dari pawang yang mengikatnya.

Jika saya hanya bermain di Lapangan Banteng, mungkin saya akan sama seperti gajah tadi. Saya akan merasa Lapangan Bangteng sangatlah indah. Bahkan taman paling indah yang ada di dunia ini. Padahal, tidak jauh dari Lapangan Banteng ada Taman Suropati yang masih lebih indah daripada Lapangan Banteng.


Alasan lainnya adalah untuk menikmati uang yang telah dikeluarkan negara. Di TMII misalnya, seorang teman pernah bertanya tentang berapa banyak anggaran yang harus dikeluarkan untuk mengelola TMII. Apabila mengelolaannya hanya mengandalkan dari pendapatan tiket masuk, jelas masih kurang.

Jangan menelan bulat-bulat ocehan saya, nanti bisa keselek. Lagi pula, sekarang ini saya lebih senang menulis dengan bahasa-bahasa kode. Ini terkait dengan salah satu cita-cita saya di masa lalu. Dalam sebuah kelas yang saya ikuti, seorang intel bercerita tentang kerennya menjadi seorang intel. Saya pun sempat ingin mengikuti jejaknya. Tapi ternyata, mengetahui lebih banyak belum tentu membuat kita bahagia. Apalagi ketika kabar itu adalah kabar sangat rahasia yang tidak semua orang mengetahuinya. Dan, lebih tidak mengenakkan lagi ketika kabar tersebut berkaitan dengan masa depan kita.


In life, you only really know the road if you have traveled it.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar

  1. photo terakhir itu hasil jepretan sendiri? keren :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, diambil pas ngabuburit. Ah, kebetulan aja itu. :D

      Hapus