Dalam novel Harry Potter, Voldemort digambarkan sebagai tokoh yang sangat jahat, kejam, licik, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Terlahir dengan nama Tom Marvolo Riddle, Voldemort dikenal sebagai siswa Hogwarts yang paling cemerlang pada masanya. Tidak heran, dia sangat hebat dalam sihir dan ditakuti oleh nyaris semua penyihir hingga tidak ada yang berani menyebut namanya. Voldemort pun kerap dipanggil sebagai Kau Tahu Siapa, Pangeran Kegelapan, atau Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut.
Belakangan ini hangat diperbincangkan perang twitter dua orang yang saling bersebrangan paham. Yang satu adalah aktivis sekaligus politisi. Dia dikenal publik ketika dituduh mendalangi gerakan menentang Orde Baru dan pernah divonis tiga belas tahun penjara. Satunya lagi mirip dengan Voldemort. Dia sangat jahat, kejam, licik, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Karena itu saya tidak berani menyebut namanya dan hanya berani memanggilnya dengan Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut.
Saya sedang tidak ingin membela salah seorang di antaranya. Saya hanya mencoba meluruskan pikiran saya agar bisa memahami yang mereka perdebatkan, sehingga kemudian saya dapat melihat siapa yang pemikirannya lurus dan siapa yang tersesat.
Sewaktu pindahan kemarin, di rak buku saya menemukan beberapa buku filsafat. Buku-buku itu tampak sudah berdebu, ciri sudah lama tidak dibaca. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa filsafat menyesatkan. Orang filsafat kerap dijauhi karena takut terpengaruh oleh pemikirannya. Pada kenyataannya, belum tentu orang filsafat menyesatkan. Bisa jadi malah sebaliknya, karena filsafat dapat membawa kita pada pemahaman dan tindakan.
Dalam bukunya, Louis O. Kattsoff menuturkan jika sesungguhnya perbudakan akali lebih menyedihkan ketimbang perbudakan ragawi. Misal seseorang diperbudak secara ragawi, setidaknya tubuhnya akan tetap mendapat perawatan yang sedemikian rupa sehingga dia mampu untuk tetap bekerja. Namun, misal seseorang diperbudak secara akali, segala cara dan tindakan akan diperbuat untuk mengauskan akal pikirannya, sehingga akal pikiran tersebut tidak dapat bekerja lagi.
Sering kali, diperlukan pengorbanan yang sangat besar untuk memperoleh kebebasan akali. Socrates dihukum mati karena dia bersikeras mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai pelbagai hal kepada mereka yang merasa mengetahui. Galileo disiksa dan Bruno dibakar di atas unggunan kayu bakar karena menentang kepercayaan-kepercayaan yang dianut umum pada masa itu. Spinoza dijuluki seorang ateis, sedang Descrates terpaksa melarikan diri untuk menyelamatkan jiwanya.
Perbudakan akali inilah yang dilakukan Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut terhadap para pengikutnya. Segala cara dihalalkannya–walau fitnah keji sekalipun–untuk mengauskan akal pikiran para pengikut setianya. Dengan fitnahnya, Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut menyetir opini publik untuk menjatuhkan orang-orang yang berseberangan dengannya. Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut menggelincirkan fakta berdasarkan opini-opini yang masih simpang siur dan tidak didukung bukti otentik, sehingga publik yang mendengarnya akan dengan mudah tergelincir.
Misalnya ketika si tukang kayu kemudian menjadi pejabat penting berseberangan dengan Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut dan partainya. Lihat yang terjadi kemudian. Mendadak orangtua si tukang kayu menjadi tidak jelas. Padahal si tukang kayu punya saudara, teman sekolah, guru, dan ratusan orang yang bisa ditanyai ihwal orangtuanya. Namun, tidak satu pun yang dianggap oleh Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut. Jutaan pengikutnya mengamini pernyataannya, “Kamu bukan anak ayahmu sampai kamu buktikan dengan tes DNA.”
Trik yang diginakan Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut adalah dengan menyesatkan penalaran para pengikutnya. Dalam Pengantar Logika Modern, menurut Suhartoyo Hardjosatoto dan Endang Daruni Asdi, “Penalaran adalah proses dari budi manusia yang berusaha tiba pada suatu keterangan baru dari sesuatu atau beberapa keterangan lain yang telah diketahui dan keterangan yang baru itu mestilah merupakan urutan kelanjutan dari sesuatu atau beberapa keterangan yang semula itu.” Mereka juga menyatakan bahwa penalaran menjadi salah satu kejadian dari proses berpikir.
Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berpikir karena penyalahgunaan bahasa (verbal) dan/atau relevansi (materi). Masing-masing orang mempunyai kemampuan bernalar yang beragam, sehingga akan beragam pula kesesatan yang mungkin terjadi. Kesesatan (fallacia, fallacy) merupakan bagian dari logika yang mempelajari beberapa jenis kesesatan penalaran sebagai lawan dari argumentasi logis.
Kesesatan karena ketidaktepatan bahasa antara lain disebabkan oleh pemilihan terminologi yang salah sedangkan ketidaktepatan relevansi bisa disebabkan oleh pemilihan premis yang tidak tepat (membuat premis dari proposisi yang salah) atau proses penyimpulan premis yang tidak tepat (premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari). Jenisnya cukup banyak. Saya hanya akan mencontohkan beberapa di antaranya.
Ketika Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut justru mengatakan dirinya difitnah untuk untuk membangkitkan simpati pengikutnya. Ini identik dengan maling teriak maling. Ini disebut sebagai argumentum ad misericordiam, yaitu sesat pikir yang sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan/ keinginan.
Termasuk argumen para pengikut Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut ketika melihat ada ribuan orang yang menyukai postingan idolanya di media sosial, “Mana mungkin Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut salah, lihat saja jumlah like facebooknya.” Ini merupakan argumen yang menilai bahwa sesuatu pernyataan adalah benar karena diamini oleh banyak orang yang disebut sebagai argumentum ad populum.
Juga ketika si tukang kayu tidak melakukan tes DNA, artinya sama saja dengan mengiyakan tuduhan Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut tentang ketidakjelasan orang tuanya. Ini disebut argumentum ad ignorantum, yaitu kesesatan yang terjadi dalam suatu pernyataan yang dinyatakan benar karena kesalahannya tidak terbukti salah, atau mengatakan sesuatu itu salah karena kebenarannya tidak terbukti ada.
Kesalahan berpikir dapat terjadi pada siapapun juga, betapa pun tinggi intelegensi seseorang atau betapa lengkapnya informasi yang ia dapat. Apalagi jika informasinya masih simpang siur. Dalam filsafat diberikan aturan-aturan tentang bagaimana bernalar yang benar, sehingga kita bisa mencegah kesalahan-kesalahan dalam berpikir. Atau, paling tidak kita bisa meminimalisasinya.
"Aku berpikir maka aku ada" -Rene Descartes