zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Aku Belanja Maka Aku Ada


Salah satu postulat dalam Teori Konsumsi Keynes, yang dikenal dengan Hipotesis Pendapatan Absolut (Absolute Income Hypotesis), adalah apabila pendapatan meningkat, konsumsi juga meningkat. Inti dari teori ini memang menjelaskan bahwa konsumsi seseorang atau sekelompok orang secara absolut ditentukan oleh tingkat pendapatannya, jikapun ada faktor lain, pengaruhnya tidak terlampau berarti.

Mulanya, saya hanya bisa mengawang-awang, membayangkan bagaimana teori ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Sampai akhir tahun kemarin, ketika ada satu toko dalam jaringan (daring) menjual sepatu futsal bermerk dengan diskon yang lumayan besar, saya melihat sendiri bagaimana teori ini berlaku. Banyak dari rekan kerja saya yang memborong sepatu futsal itu, meski sepatu futsal mereka masih bagus. Beberapa bahkan sudah punya lebih dari sepasang sepatu futsal. Kebetulan memang, waktu itu rupiah di dompet mereka sedang menguat.

Pada hakekatnya, memang tidak ada yang salah dengan fenomena mewabahnya belanja daring. Karena di satu sisi, toko daring telah berhasil memangkas ekonomi berbiaya tinggi dengan memotong rantai distribusi dan bahkan biaya investasi. Kebutuhan-kebutuhan untuk Jagoan pun banyak yang saya beli di toko daring, lebih efisien. Untuk berbelanja, kita tidak lagi harus pergi menerobos macet. Namun di sisi lain, toko daring telah berhasil memaksa konsumen merogoh kocek lebih dalam, mengutang pun tak masalah. Apalagi jika diiming-imingi diskon dan cicilan berbunga nol persen.

Diskon, sebelum ada toko daring pun, acap menjadi perangkap yang digunakan penjual untuk menjaring lebih banyak konsumen. Bahkan tidak jarang, diskon digunakan sebagai alat untuk menipu konsumen. Harga terlebih dulu dinaikkan, lalu kemudian dilabeli diskon sekian persen, yang pada akhirnya sama saja dengan sebelum didiskon. Di Harbolnas kemarin, malah ada CEO toko daring besar yang minta maaf karena ada penjual di tokonya ketahuan memajang diskon palsu. 

Sebenarnya, sudah ada aturan untuk melindungi konsumen dari tipu muslihat diskon palsu ini. Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan/mengiklankan barang/jasa bahwa seolah-olah memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu. Jika dilanggar, sanksinya berupa pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak dua miliar rupiah.

Pemberlakuan sanksi pidana dalam Undang-undang Perlingdungan Konsumen ini pernah diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon menilai pemberlakuan sanksi pidana terhadap perbuatan yang masuk ruang lingkup hukum perdata tidak tepat. Akan tetapi, dalam amar putusan yang dibacakan medio 2011 silam, Hakim Konstitusi tidak menerima permohonan pemohon. Pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

Banyak konsumen sebenarnya sudah mengetahui tipu muslihat diskon palsu, tapi apa daya mata sudah lapar. Apalagi jika kebetulan rupiah di dompet sedang menguat. Toh tidak ada diskon pun toko-toko tetap tidak pernah sepi pengunjung. Konsumen kerap kehilangan orientasi, yang mana kebutuhan, yang mana keinginan. Pokoknya emo ergo sum, aku belanja maka aku ada.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar

  1. Aku termasuk yg jarang banget belanja online kecuali beli tiket pesawat atau booking hotel. Dan mmg kalo ada diskon2 gede2an atau promo suka kalap tutup mata hehehe

    BalasHapus