zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Popok Max dan Pajak Mark


Pernah saya pirsa Mark Zuckerberg berkokok di dinding Facebook, sembari memamerkan fotonya menggati popok Max. “One more down, thousands to go.” tulis Mark. Jauh sebelum Mark mengganti popok Max, saya sudah lebih dulu mengganti popok Jagoan. Tapi siapalah saya? Bahkan jauh sebelum itu, Pak Habibie sudah menggantikan popok Ilham. Tapi pada zaman Pak Habibie memang belum ada media sosial. Maka tidak heran jika hingga hari ini, sebelas hari pascapelemparan kalender 2015 ke dalam tong sampah, sudah lebih dari dua juta orang memberikan jempolnya untuk foto Mark, si pendiri Facebook itu. 

***

Papa Muda Kekinian


Foto Mark mengingatkan saya pada tuduhan aktivis cum moralis media sosial terhadap papa-muda-kekinian yang dianggap telah melakukan pelanggaran HAM. Tuduhan tersebut diberikan kepada papa-muda-kekinian yang gemar mengunggah foto anaknya, satu aktivitas yang menurut aktivis cum moralis media sosial merupakan bagian dari pelanggaran HAM. Mereka percaya bahwa sejak lahir anak-anak sudah mempunyai hak privasi. UU Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-hak Anak, yang disetujui Majelis Umum PBB pada 20 November 1989, dijadikan dasar tuduhan mereka. 

Menurut aktivis cum moralis media sosial, konvensi tersebut sudah mendukung privasi anak dan ada ketentuan di Facebook agar pengguna berusia di atas tiga belas tahun. Padahal, kalau dibaca dengan seksama dan dalam tempo yang sesiangkat-singkatnya, dalam konvensi tersebut tidak ada premis seperti yang selalu mereka agung-agungkan. Entah mereka sudah membacanya sampai khatam atau belum. Karena itu, berat rasanya lidah ini untuk berucap bahwa ada pelanggaran HAM yang dilakukan papa-muda-kekinian akibat mengunggah foto anaknya.

Tentang hal ini saya pernah berdiskusi singkat dengan rekan saya yang memang orang hukum. Menurutnya, hal ini tidak melanggar hukum. Apalagi jika sampai dibilang melanggar HAM. Itu terlalu berlebihan, lebay. Walau bagaimanapun, anak yang belum dewasa, secara hukum masih ada dalam pengampuan orangtuanya. Apalagi jika unggah foto tersebut dilakukan sebagai kebanggaan atau untuk berbagi kebahagiaan. 

Begitu pula dengan UU Hak Cipta dan UU Informasi dan Transaksi Elektorik. Tidak ada norma hukum dari kedua undang-undang tersebut yang dilanggar dengan mengunggah foto anak sendiri. Lain halnya apabila foto tersebut diambil secara diam-diam lalu disebarkan tanpa seizin orangtuanya atau jika foto tersebut melanggar norma kesusilaan. Menurutnya, justru yang menarik untuk diperbincangkan adalah bagaimana mempekerjakan anak sebagai artis cilik, yang merupakan bentuk eksploitasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Perlindungan Anak.

***

Isu Penghindaran Pajak


Kehadiran sang buah hati selalu membawa sukacita mendalam bagi kedua orangtuanya. Sama halnya dengan Marx dan Priscilla. Mark memutuskan untuk menyumbangkan 99% sahamnya di Facebook untuk kegiatan filantropi yang berfokus pada anak-anak. Saham-saham tersebut diberikan ke Chan Zuckerberg Initiative LLC, sebuah lembaga sosial milik keluarga Mark. Lembaga inilah yang akan mengontrol saham Facebook. 

Banyak yang berharu biru menyambut keputusan Mark ini. Tidak sedikit pula yang mencibirnya. Para pencibir menganggapnya sebagai bentuk penghindaran pajak (tax avoidance) melalui transfer kepemilikan tanpa harus membayar pajak. Max pun akan mewarisinya tanpa harus membayar pajak warisan, yang di Amerika Serikat besarnya sampai 45% dari nilai warisan tersebut. Selain itu, bentuk badan hukum Chan Zuckerberg Initiative adalah Limited Liability Company (LLC), sehingga bisa melakukan investasi kendati tidak untuk mencari untung.

Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dulu kita perlu memahami penghindaran pajak dan bedanya dengan penggelapan pajak (tax evasion). Penggelapan pajak adalah terkait dengan penggunaan cara-cara yang melanggar hukum untuk mengurangi atau menghilangkan beban pajak. Sementara penghindaran pajak dilakukan secara legal dengan memanfaatkan celah pada peraturan perpajakan untuk menghindari pembayaran pajak atau melakukan transaksi yang tidak memiliki tujuan selain untuk menghindari pajak.

Dalam putusan pengadilan tertinggi di Inggris untuk The Duke of Westminster Case, pertama kali dikemukakan pendapat bahwa karena tidak ada hukum yang dilanggar, penghindaran pajak semestinya tidak dilarang. Setiap orang memiliki kebebasan untuk mengatur urusannya masing-masing sesuai kehendaknya. Selama tidak ada peraturan yang dilanggar, otoritas pajak tidak dapat melakukan intervensi.

Oleh karena itu, kalau pun toh yang dilakukan Mark adalah penghidaran pajak, tidak ada yang salah dengannya. Tapi bahkan saya tidak menemukan argumen yang kuat untuk mengatakan hal tersebut sebagai satu bentuk dari penghindaran pajak. Mark tidak memanfaatkan adanya celah atau kekosongan hukum. Mark sebatas memanfaatkan insentif yang diberikan pemerintah Amerika Serikat.

***

Simalakama Kegiatan Filantropi


Pada tahun 2010, Bill dan Melinda Gates mengumumkan bahwa mereka berkomitmen agar 95% dari kekayaannya digunakan untuk kegiatan filantropi. Bersama Warren Buffett, mereka juga mendirikan Giving Pledge, yang meminta orang-orang terkaya di dunia untuk mencurahkan minimal setengah dari kekayaannya untuk kegiatan filantropi. Mark termasuk salah satu orang yang ada di barisan terdepan untuk bergabung. Maka tidak mengherankan jika kemudian Mark mengumumkan akan menyisihkan 99% saham Facebook untuk kegiatan filantropi.

Kelompok nirlaba di Amerika Serikat memainkan peran besar yang tidak proporsional. Sebagian tergiur oleh kebijakan perpajakan Amerika Serikat yang menarik orang kaya untuk ikut menyumbang. Tidak sedikit yang mengkritisi kebijakan ini. Mereka menilai bahwa insentif ini memberi legitimasi bagi orang kaya untuk memilih menyumbang atau membayar pajak. Banyak orang kaya kemudian memilih untuk menyumbang karena lebih populis daripada membayar pajak. Akibatnya, merekalah yang menentukan kegiatan sosial yang akan dilakukan, yang kadang tidak sejalan dengan tujuan pembangunan nasionalnya.

Jika sudah begini, negara seolah kehilangan taringnya. Negara seolah-olah memiliki kewenangan penuh untuk menentukan kegiatan yang menjadi prioritasnya. Padahal sebenarnya tidak demikian. Kewenangan untuk mengalokasikan anggaran pendapatan dan belanja negara telah dibagikan ke tangan orang kaya. Orang kaya itulah yang menentukan input, output, dan outcome-nya. Negara hanya menonton dan tidak terlampau banyak campur tangan. Sebuah kebijakan yang sangat liberal dan bertentangan dengan demokrasi. 

***

Sebaiknya, sebelum menuduh papa-muda-kekinian telah melakukan pelanggaran HAM, para aktivis cum moralis media sosial itu terlebih dulu melihat definisi privasi dalam peraturan perundang-undangan yang ada terkait perlindungan hak anak. Itu pun kalau ada. Melindungi anak dari kejahatan dunia siber memang perlu. Tapi itu hal lain dan tidak perlu lebay. Apalagi sampai menghakimi atas nama HAM.

Pun terlampau usang jika kita masih berkoar-koar dan mengarahkan telunjuk ke muka Mark sambil meneriakinya sebagai pengemplang pajak. Ada hal yang lebih penting dan menarik untuk diperbincangkan, yaitu kebijakan insentif pajak yang malah menjadi liberalisasi kewenangan fiskal pemerintah. Kebijakan itu telah mengurangi campur tangan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pendapatan dan belanja negaranya. Kewenangan itu telah dihadiahkan kepada orang-orang kaya yang memilih melakukan kegiatan filantropi daripada membayar pajak.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar

  1. Gila yaaa pajak nya disana sampai 45% gede banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi yang sangat fantastis apalagi untuk negara kampung halaman neo liberalisme, bukan negara sosialisme.

      Hapus