zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Rebutan IKEA


Akhir pekan kemarin, kami mengajak Jagoan ke toko IKEA di Alam Sutera, Tangerang. Memang, itu bukan kali pertama Jagoan ikut ke toko IKEA. Tapi pada saat itu, untuk kali pertama Jagoan duduk di troli belanja. Ketara Jagoan senang sekali bisa naik troli belanja. Toko IKEA di Alam Sutera sendiri adalah toko pertama dan satu-satunya di Indonesia, yang resmi dibuka di penghujung tahun 2014 yang lalu.

IKEA adalah singkatan dari nama pendirinya, Ingvar Kamprad; tempat ia dilahirkan, Elmtaryd; dan desanya, Agunnaryd. Selain kreasinya yang modern, produk IKEA juga dikenal karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan produk sejenis dengan kualitas yang sama. Pabrikasi produk IKEA dilakukan dalam jumlah besar dan dijual tanpa dirakit. Itulah di antara strategi yang dilakukan IKEA untuk meminimalisasi harga jual tanpa menurunkan kualitas.

Belum lama ini, IKEA ramai diberitakan. Gara-garanya adalah putusan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 264 K/Pdt.Sus-HKI/2015, yang baru mencuat ke permukaan awal bulan ini. Putusan tersebut sebenarnya sudah dibacakan pada tanggal 12 Mei tahun lalu. Tapi entah kenapa baru sekarang ramainya. Saya sendiri tidak dapat menggali lebih dalam isi dari Putusan MA tersebut. Beda dengan putusan-putusan lainnya, putusan atas perkara Inter IKEA System B.V. kontra PT Ratania Khatulistiwa tersebut tidak dapat diunduh di laman MA.

Aslinya, tahun 2010, IKEA telah mendaftarkan mereknya ke Kementerian Hukum dan HAM untuk berbagai jenis barang, termasuk kelas 20 dan 21. Namun, tiga tahun kemudian, PT Ratania Khatulistiwa mengusulkan agar merek IKEA dihapus. Pihak Kementerian Hukum dan HAM sempat menolak usulan tersebut. Tetapi PT Ratania Khatulistiwa tidak puas dan menyeret persoalan ini ke meja hijau. Dalihnya adalah Pasal 61 ayat (1) huruf a UU Merek:

“Penghapusan pendaftaran Merek atas prakarsa Direktorat Jenderal dapat dilakukan jika merek tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal.”

Pendek kata, keluarlah Putusan MA tersebut. Buntutnya adalah merek IKEA tidak lagi dapat melekat pada produk perabot rumah yang terbuat dari kayu, gabus, rumput, rotan, dan plastik serta wadah untuk rumah tangga yang terbuat dari porselen atau tembikar. Produk-produk tersebut masuk di kelas 20 dan 21 dalam klasifikasi hak kekayaan intelektual Indonesia. Tentu saja hal tersebut hanya berlaku untuk produk yang dipasarkan di Indonesia. 


Seketa yang melibatkan merek terkenal bukan kali ini saja terjadi. Tidak sedikit merek terkenal yang sudah berperkara di MA. NIKE adalah salah satunya. Perusahaan sepatu, pakaian, dan alat-alat olahraga asal Negeri Paman Sam itu pernah berperkara gara-gara seorang bernama Lucas Sasmito mendaftarkan merek yang pada keseluruhannya sama persis dengan merek dagang milik NIKE International Ltd. dengan itikad tidak baik, untuk mendompleng popularitas merek dagang NIKE. Walhasil, MA mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan NIKE International Ltd..

Klausul mengenai prinsip itikad baik ini ditegaskan dalam penjelasan Pasal 4 UU Merek:

“Pemohon yang beritikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen ... .” 

Dalam beberapa sengekta rebutan merek, penggugat juga kerap mengutip beberapa Putusan MA, tidak terkecuali Putusan MA Nomor 220 PK/Perd/1986 tanggal 16 Desember 1986 atas sengeta merek NIKE sebagai yurisprudensi:

“Hal ini juga berarti warna negara Indonesia yang memproduksi barang-barang buatan Indonesia wajib menggunakan nama-nama merek yang jelas menampakkan identitas nasional Indonesia dan sejauh mungkin menghindari menggunakan nama merek yang mirip apalagi menjiplak nama merek asing;”

Entah kenapa dalam putusannya, MA seolah tidak mempertimbangkan prinsip itikad baik tersebut. Padahal jelas bahwa rebutan IKEA identik dengan rebutan NIKE, di mana tergugat mendaftarkan merek yang pada keseluruhannya sama persis dengan merek dagang Inter IKEA System B.V.. Tapi karena putusan atas perkara Inter IKEA System B.V. kontra PT Ratania Khatulistiwa tersebut tidak dapat diunduh di laman MA, pada akhirnya saya pun hanya bisa menerka-nerka.

Sistem hukum Indonesia menganut Civil Law/Eropa Kontinental, bukan Common Law/Anglo Saxon, sehingga yurisprudensi bukan sumber hukum terpenting. Artinya, hakim tidak terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau yang sederajat tingkatannya. Namun, prinsip itikad baik ini jelas tidak boleh diabaikan. Menurut ajaran utilitarianisme, hak kekayaan intelektual memiliki nilai ekonomi. Pemiliknya telah mengeluarkan tenaga dan biaya untuk menemukan atau mencipta. Perdagangan internasional banyak bersandar kepada nilai ekonomi hak kekayaan intelektual ini. 
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar