zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Ngawangkong


Waktu saya kecil, almarhum abah sering mengajak saya ngawangkong, ngobrol ngalor ngidul, di rumah sahabat dan kerabatnya. Biar saya kenal dan bisa meneruskan tali silaturahmi ketika abah sudah tiada, katanya. Topiknya macam-macam. Seringnya tentang politik, tentu dalam skop yang sempit, bukan politik nasional.

Pada akhirnya, saya harus pergi meninggalkan kampung halaman. Saya tidak bisa lagi ngawangkong bersama sahabat dan kerabat almarhum abah. Tapi, setidaknya, saya masih meneruskan budaya ngawangkong itu di blog ini. Saya, yang sering dicap pendiam, menjadi sangat cerewet di blog. Pada dasarnya, saya masih orang Sunda, saya masih orang Indonesia, yang gemar ngobrol ngalor ngidul.

Maka, bukan sesuatu yang ajaib jika di era konvergensi media sekarang ini Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki basis pengguna media sosial terbesar di dunia. Blog, sebagai salah satu dari sekian banyak kanal media sosial, pun telah ikut menjadi perpanjangan mulut yang memungkinkan kita, saya dan kamu, melanjutkan budaya warisan leluhur: ngawangkong.

Di awal kelahiran Web 2.0, blog adalah serambi yang sangat asyik untuk ngawangkong: bercanda dan berdiskusi. Di sana saya menemukan banyak teman. Beberapa bahkan sampai kopi darat. Kini, lebih dari itu, blog bahkan sudah menjadi pentas untuk mengais rejeki. Entah itu dari klik pengunjung yang singgah di blog. Entah itu dari postingan berbayar. Tidak sedikit narablog atau blogger yang dapurnya mengepul karena blog dengan menjadi corong pariwara.

Sekarang, sudah sangat jarang narablog yang ngeblog untuk sekadar cuap-cuap. Narablog sudah lebih banyak yang konsisten ngeblog biar ada panggilan mentas. Setidaknya itu yang saya lihat di lini masa saya. Memang tidak ada yang salah dengan semua itu. Saya anggap itu sebagai gairah yang turut mewarnai blantika perblogan tanah air.

Saya hanya sedih ketika banyak kawan narablog saya sudah menghilang dari peredaran. Bukan postingan baru, melainkan sarang laba-laba, yang saya temui saat blogwalking ke blognya. Beberapa kawan narablog semasa alay juga kini banyak yang sudah bekerja. Mungkin, mereka sedang sibuk dengan dunia barunya, hingga tidak ada lagi waktu untuk sekadar menulis postingan baru.

Karena itu, kesan yang timbul di Hari Blogger Nasional tahun 2016 ini adalah sepi. Tidak ada pesta meriah. Tidak ada hingar bingar kembang api. Apalagi letupan petasan. Bahkan mungkin banyak yang lupa jika hari ini adalah hari raya kita, hari raya para narablog setanah air.

Sampurasun!
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar