zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Konversi Sumber Masalah Menjadi Sumber Energi


Pertumbuhan penduduk menjadi salah satu faktor yang turut membuat aktivitas konsumsi ikut bertumbuh. Bertumbuhnya aktivitas konsumsi tersebut berdampak pada peningkatan volume sampah atau limbah yang dihasilkan. Tinggi rendahnya volume sampah tersebut menentukan beban yang harus dipikul oleh lingkungan. Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh beban tersebut sangat bergantung pada daya serap atau daya tampung lingkungan dalam mengasimilasikannya.

Ada sampah yang sukar atau bahkan tidak dapat diserap oleh lingkungan. Ada pula sampah yang dengan mudah dapat diserap oleh lingkungan. Botol kaca, kantong plastik, logam berat, dan bahan berbahaya beracun (B3) adalah contoh sampah yang sukar dicerna secara biologis. Sementara itu, dalam hal sampah yang dapat diserap oleh lingkungan, selama tingkat buangan sampahnya tidak melebihi daya tampung atau daya serap lingkungan, sampah tersebut tidak akan menumpuk atau terakumulasi.

Sampah yang menumpuk terlalu banyak akan menimbulkan berbagai dampak buruk bagi kesehatan. Pengelolaan sampah yang buruk akan memberikan rumah yang nyaman bagi vektor penyakit, semisal nyamuk, lalat, dan hewan pengerat untuk dapat berkembang biak dan meningkatkan intensitas penyakit. Selain berdampak buruk bagi kesehatan, sampah yang menumpuk juga akan berdampak buruk bagi lingkungan. Tumpukan sampah akan mengurangi estetika dan mengganggu fungsi lingkungan.

Untuk mengurangi volume sampah yang dihasilkan, berbagai upaya telah dilakukan. Satu di antaranya adalah diet kantong plastik, yang dalam implementasinya sempat diujicobakan program kantong plastik berbayar. Akan tetapi, program tersebut tidak berlanjut karena dianggap bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Selain itu, plastik alternatif juga diproduksi dari bahan nabati. Kita mengenalnya sebagai bioplastik. Bioplastik adalah bahan pengganti plastik yang terbuat dari bahan-bahan biotik seperti jagung, singkong, atau mikrobiota, bukan polystyrene seperti pada kantong plastik kebanyakan.

Dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, diatur bahwa pengelolaan sampah merupakan suatu kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya, termasuk di antaranya adalah sebagai sumber daya energi.

Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Rida Mulyana pernah bilang kalau Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbondioksida dan menyampaikan tiga program yaitu reformasi subsidi, akselerasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan, serta akselerasi program waste-to-energy. Dalam upaya akselerasi program pengembangan sampah sebagai sumber energi, pemerintah sempat menetapkan Perpres Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah.

Selain itu, Perpres Nomor 18 Tahun 2016 juga ditetapkan untuk meningkatkan peran listrik berbasis energi baru terbarukan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun (RPJMN) 2015-2019. Berdasarkan Perpres tersebut, Indonesia akan punya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan teknologi termal di tujuh kota yaitu: Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar.

Sayangnya, pembangunan PLTSa ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan dan tidak mengedepankan pertimbangan kesehatan manusia dan lingkungan serta kehati-hatian dini dalam penentuan teknologi. Karenanya, pada tanggal 2 November 2016 kemarin, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materiil Perpres Nomor 18 Tahun 2016. Menurut para pemohon, pengolahan sampah dengan teknologi termal seperti insinerator, gasifikasi, dan pyrolysis sebagaimana tercantum Perpres tersebut membutuhkan kajian dan pertimbangan yang matang, mendalam, dan menyeluruh.

Biaya investasi dan operasional yang tinggi, juga dampak terhadap kesehatan dan lingkungan menjadi isu penting yang harus diantisipasi dalam penerapan teknologi termal tersebut. Salah satu potensi emisi dan lepasan racun dari pengolahan sampah dengan teknologi termal adalah dioksin. Lebih dari 128 negara dalam Konvensi Stockholm telah bersepakat untuk mencegah dan mengeliminasi dioksin karena sifat karsinogeniknya. Dioksin adalah salah satu karsinogen yang dilepas dari proses pembakaran baik lewat udara, air, maupun dalam sisa pembakaran.

Kira-kira 25% dari hasil pembakaran akan berupa abu, abu terbang, dan kerak yang bersifat toksik dan termasuk kelompok limbah B3. Proses pengolahannya, karena itu, harus diperlakukan secara khusus. Andai setiap kota mengolah kurang lebih 1000 ton sampah per hari, potensi limbah B3 dari hasil pembakaran dengan teknologi termal adalah sekitar 250 ton per hari. Limbah tersebut membutuhkan penanganan di tempat pengolahan akhir sampah khusus untuk B3 dan tidak dapat dikirim ke TPA biasa.

Padahal, pada tanggal 23 Mei 2001, pemerintah Indonesia telah ikut serta menandatangani Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants. Konvensi tersebut bertujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan pencemar organik yang persisten. Konvensi tersebut kemudian diratifikasi dengan UU Nomor 19 Tahun 2009. Selain itu, pembangkit listrik tenaga sampah diduga justru akan mengeluarkan lebih banyak energi untuk mendapat listrik yang tak seberapa, mengingat karakteristik sampah Indonesia yang tak dipilah sehingga cenderung basah. Sampah yang basah membutuhkan energi tambahan untuk dikeringkan dan juga agar suhu tungku pembakaran tetap tinggi.

Konversi sampah, yang selama ini kerap menjadi sumber masalah, menjadi sumber daya energi ada pada tingkat terakhir dalam hirarki pengelolaan sampah. Saat ini, banyak negara di dunia melakukan pengelolaan sampah dengan mendorong pengurangan (waste prevention), desain ramah lingkungan (green design), dan daur ulang atau konversi materi dalam kerangka pendekatan zero waste yang mengintegrasikan konsep keberlanjutan produksi dan konsumsi (sustainability).

Pemerintah Indonesia pun mestinya memprioritaskan daur ulang sampah menjadi sumber daya material lainnya, sebelum membuat kebijakan konversi energi di tempat pembuangan akhir. Jangan sampai niat baik untuk mengonversi sumber masalah menjadi sumber energi malah menambah masalah-masalah baru.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar