Hari Minggu yang lalu, CNN Indonesia merilis berita “Pagi ini, Jakarta Rangking 5 Kota Berpolusi di Dunia”. Pagi itu, ranking Jakarta ada di bawah Kuwait di Kuwait, Kabul di Afghanistan dan Hanoi di Vietnam, Lahore di Pakistan, dan Guangzhou di China.
Bulan lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat tidak sependapat dengan rencana BPPT yang hendak membuat hujan buatan untuk menekan polusi udara di Jakarta. Ia menilai BPPT offside dan rencananya belum matang.
Sebetulnya, bukan tidak ada upaya yang dilakukan Pemprov DKI untuk memperbaiki kualitas udara ibukota. Pemprov DKI sempat melontarkan wacana untuk mengatur uji emisi, membagikan tanaman lidah mertua, hingga yang mutakhir yakni perluasan ganjil genap.
Respon masyarakat atas kebijkan-kebijakan Pemprov DKI pun macam-macam, ada yang setuju, ada pula yang tidak. Kadang-kadang respon tersebut sulit untuk bisa lepas dari bias politik. Misal, kalau dari awal sudah tidak suka dengan sosok Anies Baswedan, kebijakan publik apapun yang diambilnya pasti akan dicap jelek. Begitu pun sebaliknya.
Kebijakan publik adalah alat pemecahan masalah di sektor publik. Bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah kalau kita memiliki data tentang sumber masalahnya? Dalam persoalan polusi di Jakarta, apa saja yang menjadi biang keroknya? Seberapa besar kontribusi dari masing-masing biang kerok tersebut?
Setelah itu, baru kita bisa menentukan opsi kebijakan yang paling berdampak untuk menekan polusi Jakarta dengan efektif dan efisien. Selain digunakan untuk menentukan opsi kebijakan yang akan dipilih, data juga berguna untuk menilai dampak, berhasil atau tudaknya, opsi kebijakan yang dipilih tersebut.
Tanpa data yang mumpuni, kita tidak akan pernah tahu kebijakan mana yang paling berdampak untuk mengatasi polusi di Jakarta, apakah hujan buatan, uji emisi, tanaman lidah mertua, atau perluasan ganjil genap? Bahkan, jangan-jangan keempatnya belum bisa memberikan dampak signifikan dalam mengatasi polusi di Jakarta.
Bulan lalu, masih dari berita yang dilansir CNN Indonesia, Walhi menilai emisi dari PLTU yang berbahan bakar batu bara menyumbang sekitar 20 hingga 30 persen polusi udara di Jakarta. Sementara, transportasi menyumbang di kisaran 30 sampai 40 persen. Sisanya dari pembakaran sampai dan sumber-sumber lainnya.
Masalahnya, data yang dibeberkan Walhi tersebut adalah data tahun 2017 silam, ketika Walhi bersama Greenpeace melakukaan pemetaan. Dalam pemetaan tersebut setidaknya ada 10 PLTU yang menyumbang polusi di Jakarta. Pertanyaannya, apakah data tersebut masih dapat diandalkan ketika jumlah PLTU dan pabrik sudah berubah?
Masih ingat ketika Jakarta blackout dan keesokan harinya cuaca di Jakrta menjadi sangat sejuk dan kualitas udara menjadi jauh lebih baik? Kita tidak bisa serta merta menilai kontributor polusi terbesar adalah kendaraan bermotor, karena ketika Jakarta blackout kendaraan masih tetap jalan. Kita juga tidak bisa menuduh pabrik sebagai biang paling kerok atas polusi udara yang kita, warga Jakarta, hirup setiap hari. Karena apa? Karena kita tidak punya datanya.