zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Keluarga Berencana


Keluarga Berencana

Abah terlahir ke dunia dengan tiga kebetulan. Kebetulan pertama, abah terlahir pada masa Orde Baru lagi jaya-jayanya dan gencar-gencarnya menerangi program Keluarga Berencana (KB). Kebetulan kedua, abah terlahir di tengah keluarga yang menjadi pelopor KB di lingkungannya. Kebetulan ketiga, abah adalah anak ketiga. Sebagai anak ketiga dari keluarga yang menggaungkan jargon “2 Anak Cukup”, abah ibarat nila setitik yang merusak susu sebelanga.

Abah dan ambu sama-sama anak ketiga, sekaligus anak bungsu, dari orangtua yang sama-sama merencanakan hanya punya dua anak. Kami berdua terlahir akibat kecelakaan. Kecelakaan yang menyenangkan tentunya. Padahal, di keluarga besar kami sangat jarang yang hanya mempunyai tiga—apalagi dua—orang anak. Sepupu saya di Ciamis rata-rata merupakan bagian dari tujuh sampai delapan besaudara, bahkan lebih. Sampai-sampai abah suka kesulitan mengurutkan keturunan aki dan nini.

Paradigma tentang keluarga berencana, terutama dalam hal keturunan, mau tidak mau menurun kepada kami. Pada saat Jagoan lahir, ambu malah sudah merasa cukup dengan hanya memiliki anak semata wayang. Abah yang ketika itu gencar mengajukan wacana untuk menghadirkan anak kedua dalam cerita perjalanan keluarga kecil kami. Pada dasarnya saya tidak ingin Jagoan sendirian ketika kelak kami sudah tiada. Kami bersyukur memiliki keluarga besar yang sangat menyayangi Jagoan. Jagoan pun memiliki banyak saudara sepupu. Namun, tetap saja rasa antara memiliki saudara kandung dengan memiliki saudara sepupu berbeda.

Kalau Rara Joggrang mengajukan dua syarat yang mustahil dipenuhi Bandung Bandawasa: membuat sumur Jalatunda dan membangun seribu candi dalam satu malam, ambu mengajukan syarat untuk memiliki rumah sebagai syarat untuk memiliki anak kedua. Syarat yang mustahil abah penuhi dalam satu malam. Kepada para pengikut Jouska, tolong abah yang sedang tidak ingin berdebat dengan kalian. Singkat cerita, pada 1 November tahun lalu ambu mengirim abah foto dua strip.

Tahun ini Jagoan genap di usia lima tahun. Beberapa hari setelah Jagoan ulang tahun adalah hari yang diramalkan dokter sebagai hari lahirnya adik Jagoan. Keputusan untuk memberikan adik buat Jagoan bukanlah keputusan satu malam. Keputusan itu diambil dengan banyak pertimbangan: dari pertanyaan apakah Jagoan harus memiliki saudara kandung atau cukup menjadi anak semata wayang hingga kapan adik Jagoan harus mulai ditulis dalam cerita keluarga kecil kami.

Maret 2020 adalah masa ketika kehamilan ambu memasuki fase yang sulit. Bertahan di tengah pandemi global, kami dipaksa mengubah rencana dan mencari alternatif fasilitas kesehatan untuk memeriksakan kehamilan dan lahiran kelak. Terlalu berisiko untuk tetap berkunjung ke rumah sakit. Kami tidak tahu ada tidaknya pasien positif korona di satu rumah sakit. Sejak pemerintah resmi mengumumkan di Indonesia ada yang positif korona, sejak itu pula kami mulai memeriksakan kehamilan di klinik ibu dan anak. Untungnya, di bilangan sini ada klinik dengan dokter kandungan dengan pengalaman yang mumpuni dilengkapi fasilitas yang cukup mumpuni pula.

Selain virus korona, kami juga diuji dengan ditinggal ART yang memaksa mudik dari sebelum Ramadhan tiba. Kami sama-sama bekerja dari rumah sambil menjaga Jagoan dengan kondisi ambu hamil besar. Kondisi yang sepertinya akan bertahan lama hingga setelah adik Jagoan lahir. Tidak mudah mencari ART di zaman virus korona bertebaran. Tidak mudah mencari ART yang bisa bekerja dan mau bekerja ke Jakarta. Kalau pun ada yang mau, ada kekhawatiran dia datang membawa virus.

Di tengak kondisi pageblug seperti ini, kami sebagai keluarga hanya bisa berencana, Gusti Allah-lah yang menentukan.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar