zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Mas Menteri, Curhat Dong


Mas Menteri, Curhat Dong!

Apa kabar, Mas Menteri? Semoga sehat-sehat saja ya. Sebetulnya sudah lama saya ingin curhat, sudah satu purnama, sejak Mas Menteri terkaget-kaget ketika tahu kalau di Indonesia masih ada rumah yang tidak teraliri listrik dan tidak terjangkau sinyal internet.

Oh iya, Mas Menteri boleh panggil saya abah biar kita terlihat akrab. Dari lahir sampai lulus SMP, saya tinggal di rumah orangtua di utara Ciamis, Jawa Barat. Rumah orangtua saya dari kantor Mas Menteri di Kemendikbud jaraknya sekitar 260 kilometer. Saya cek di Google Maps jarak itu bisa ditempuh dalam empat setengah jam saja. Tentu akan lebih lama jika ditambah dengan waktu untuk mampir beli tahu bulat di rest area.

Rumah orangtua saya masih terbilang dekat dari ibukota, masih di pulau Jawa, dan masih bisa ditempuh dengan perjalanan darat. Namun, percaya atau tidak, di rumah orangtua saya sinyal seluler susah sekali didapat. Jangankan untuk berselancar internet, untuk berkirim SMS saja susahnya minta ampun. Di sana kontur tanahnya berbukit-bukit dan kebetulan rumah orangtua saya diapit dua bukit. Kita harus menaiki bukit untuk mendapatkan sinyal. 

Lebaran kemarin pun saya baru berhasil menelepon orangtua di hari kedua lebaran. Hari pertama lebaran di Ciamis hujan turun, sehingga tidak memungkinkan untuk keluar rumah sekadar mencari sinyal. Pada postingan Jangan Terbawa Arus Mainstream, yang saya unggah pada awal 2012 ada foto ketika saya harus naik ke lantai dua kandang ayam yang ada di lereng bukit, lebih tinggi dari atap rumah, untuk sekarang berselancar internet dan mengunggah tulisan di blog ini. Itu bukan foto rekayasa.

Ambu, isteri saya seorang pendidik, kepala sekolah di Jakarta. Di masa PSBB ketika kami menunaikan WFH dan PJJ, saya kerap curi-curi dengar ketika ambu sedang rapat. Saya ikut senang mendengar kabar dari pejabat Dinas Pendidikan DKI Jakarta bahwa Google memberikan lisensi premium Google for Education untuk digunakan murid, guru, sekolah, dan seluruh perangkat pendidikan di DKI. 

Hal itu sangat kontras dengan kondisi di kampung halaman saya. Keponakan saya sekarang kelas IV. Ketika murid-murid di DKI dan daerah lain, yang mendapat privilese berupa limpahan sinyal, menjalani PJJ, keponakan saya hanya diam di rumah tanpa berhubungan dengan sekolah. Tidak ada PJJ. Jangankan sinyal internet, sinyal seluler saja langka.

Itu pula alasan saya pernah menulis soal UNBK: Ketika UNBK Dipaksa Masuk Kampung, yang menurut saya terlalu dipaksakan di tengah keterbatasan sarana dan prasarana sekolah. Itu ditulis setelah kami bertandang ke rumah guru SMP saya. Kami diceritakan bagaimana sekolah harus mengadakan perangkat komputer berikut sambungan internet untuk sekadar melaksanakan UNBK yang diadakan setahun sekali. Padahal, dananya bisa saja digunakan untuk pengadaan yang lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Buku misalnya. Selama SMP kami hanya mengandalkan buku-buku perpustakaan. Jumlahnya pun terbatas. Buku-buku di luar buku pelajaran jumlahnya lebih minim lagi. 

Libur tahun baru kemarin, ketika kami pulang ke Ciamis, ambu menyarankan supaya saya mencari "guru les" yang bisa membantu mengajari keponakan saya. Pasalnya, ia sangat ketinggalan materi, padahal beberapa bulan lagi ia harus menghadapi UN. Waktu itu Mas Menteri belum menghapus UN. Pasalnya, gurunya sakit dan jarang masuk. Saya pun meminta tolong keponakan lain dari kakak sepupu, yang juga guru SD di sekolah lain. Tujuannya tidak hanya mengejar target UN, tapi juga supaya tidak ketinggalan materi pas masuk SMP nanti.

Sampai hari ini, keponakan saya dan banyak murid sekolah di kampung saya masih berdiam di rumah supaya tidak tersentuh korona. Sayangnya, selain tidak tersentuh korona, mereka juga tidak tersentuh pendidikan. Saya percaya, bagi orang yang berjiwa guru, korona bukanlah hambatan berarti untuk tetap mengajar. Bukan begitu, Mas Menteri?
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar