zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Jika Mr. Spock Jadi PIP PNBP Semasa Pandemi

Mr. Spock Pimpinan Instansi Pengelola PNBP

Mr. Spock adalah tokoh fiksi Star Trek. Ia berkarakter dingin, rasional, dan mampu berpikir tenang. Pascapensiun Spock diangkat menjadi diplomat untuk menjalin hubungan dengan bangsa Romulan. Sebagai diplomat berdarah Vulcan, Spock harus berkompromi dengan bangsa Romulan. Ia harus mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan psikologi Romulan dalam kebijakan politik luar negerinya.

Bangsa Romulan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan bangsa kita. Seperti Romulan, Indonesia pun memiliki masyarakat yang majemuk. Saya pun membayangkan jika Spock harus berhadapan dengan masyarakat Indonesia? Bagaimana Spock akan menetapkan kebijakan penanganan pandemi COVID-19?

Kolom Majalah Tempo edisi 19 September 2020 memuat opini apik dari Muhammad Chatib Basri dan Syarifah Namira Fitrania yang bertajuk “Antara Mr. Spock dan Homer Simpson”. Mr. Spock adalah tokoh fiksi Star Trek yang berkarakter dingin, rasional, mampu berpikir tenang, dan selalu mengkalkulasi keputusan-keputusannya. Sementara, Homer Simpson adalah tokoh kartun The Simpson yang karakternya menjadi antitesis dari karakter Spock.

Tokoh Spock dan Homer dalam kolom Majalah Tempo tersebut digunakan untuk menjelaskan behavioral economics. Bahwa bayangan homoeconomicus tidak selalu sesempurna Spock. Bahwa kadang kala kita bisa menemukan suatu kebijakan ekonomi yang tampak serampangan, tidak rasional dan tanpa kalkulasi yang matang, ibarat Homer. Behavioral economics memperhitungkan pengaruh faktor psikologi, kultural, kognitif, dan emosi dalam pengambilan keputusan.

Misalnya, ada alasan politis yang dipertimbangkan pemerintah untuk tidak mengambil kebijakan lockdown dan menggantinya dengan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Perspektif behavioral economics bisa menjelaskan cognitive bias yang mempengaruhi pemerintah untuk menolak opsi lockdown tersebut.

Namun, saya tidak akan lebih jauh lagi membahas mengenai behavioral economics. Saya menyinggung soal behavioral economics sekadar memberi gambaran. Saya hendak menunjukkan bahwa dalam mengambil kebijakan kita harus bisa berkompromi beragam latar sosiologis dan psikologis, bahkan bagi orang serasional Spock. 

Mari kita membayangkan jika Spock menjadi Kapolri semasa pandemi COVID-19. Bagaimana ia akan mengambil kebijakan-kebijakan penanganan COVID-19 pada institusi yang menjadi tanggungjawabnya? Bagaimana Spock sebagai seorang Kapolri, yang juga merupakan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP, akan menetapkan kebijakan relaksasi PNBP?

PNBP atau Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara. PNBP pada Kepolisian RI di antaranya adalah PNBP perpanjangan SIM dan STNK.

Tarif PNBP perpanjangan SIM dan STNK diatur dalam PP Nomor 60 Tahun 2016. Tarif penerbitan perpanjangan SIM bervariasi. Untuk SIM lokal tarif perpanjangannya berkisar antara Rp30 ribu hingga Rp80 ribu. Untuk SIM Internasional tarif penerbitan perpanjangannya Rp225 ribu. Pengujian untuk penerbitan SIM baru tarifnya lebih tinggi lagi atau sekitar 150 persen dari tarif perpanjangan. Sementara, tarif penerbitan STNK, baik baru maupun perpanjangan, adalah Rp100 ribu untuk roda dua dan roda tiga serta Rp200 ribu untuk roda empat atau lebih.

Semasa pandemi, Kepala Kepolisian RI sebagai Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menjalankan kebijakan relaksasi berupa penundaan pembayaran kewajiban PNBP yang timbul akibat perpanjangan SIM dan/atau STNK. Ini adalah bentuk insentif PNBP pada Kepolisian RI untuk membantu meringankan beban masyarakat.

Istilah insentif PNBP sebenarnya tidak dikenal secara spesifik dalam regulasi di bidang PNBP. Namun, bukan berarti PNBP menihilkan substansi pengaturan insentif. Regulasi di bidang PNBP memiliki berbagai kebijakan pengaturan yang mendukung pemberian pengaturan jatuh tempo pembayaran yang memberikan kemudahan bagi Wajib Bayar, pemberian keringanan PNBP kepada Wajib Bayar, serta pengenaan tarif sampai dengan Rp0 atau 0 persen.

Pada mulanya, relaksasi diberikan pada Wajib Bayar pemilik SIM dan/atau STNK yang masa berlakunya habis dalam kurun 17 Maret 2020 hingga 29 Mei 2020. Para Wajib Bayar tersebut diperkenankan melakukan perpanjangan SIM dan/atau STNK setelah 29 Juni 2020 tanpa dikenai denda keterlambatan pembayaran STNK atau tanpa perlu mengurus SIM baru. Dalam keadaan normal, jika SIM tidak diperpanjang setelah lewat masa berlaku, kita tidak bisa lagi memperpanjangnya dan harus membuat SIM baru.

Jangka waktu tersebut sempat ditangguhkan demi menghindari potensi kerumunan massa dan untuk mengantisipasi pencegahan penyebaran COVID-19. Dispensasi perpanjangan SIM diperpanjang sampai dengan 31 Juli 2020. Perpanjangan ini hanya berlaku untuk sembilan Polda di seluruh Indonesia.

Khusus untuk Polda Metro Jaya, dispensasi perpanjangan SIM diberikan sampai dengan 31 Agustus 2020. Kepolisian RI menyebut nilai PNBP yang ditangguhkan adalah Rp97 miliar. Nilai tersebut adalah nominal PNBP yang ditangguhkan. Tidak terinci berapa nilai PNBP yang ditangguhkan satu bulan, dua bulan, dan seterusnya.

Secara teoretis, idealnya, perhitungan besaran relaksasi PNBP mengacu pada revenue forgone approach. Revenue forgone approach yaitu pendekatan yang menghitung selisih antara PNBP yang dibayar oleh Wajib Bayar ketika mendapat relaksasi atau insentif dengan PNBP yang dibayar oleh Wajib Bayar ketika tidak mendapat relaksasi atau insentif. Pendekatan ini menghitung potensi PNBP yang hilang sebagai opportunity cost dari kebijakan relaksasi PNBP yang dipilih pemerintah.

Jika Spock jadi Pimpinan IP PNBP saya yakin ia akan lebih dulu menghitung opportunity cost tersebut sebagai bagian dari cost-benefit analysis sebelum menetapkan opsi relaksasi PNBP. Namun, di masa pandemi butuh keputusan yang cepat untuk menangkal dampak COVID-19. Di sisi lain, informasi dan data yang kita punya pun masih jauh dari kata mumpuni. Meski begitu, menurut saya, sebagai seorang diplomat Spock akan tetap menetapkan relaksasi PNBP. Hal tersebut dikarenakan selain misi ekonomi, relaksasi PNBP juga membawa misi politik.

Dengan tarif yang masih di kisaran Rp100 ribu, jika tidak ada relaksasi pun sanksi denda administratif sebesar 2 persen per bulan atas keterlambatan perpanjangan STNK masih relatif terjangkau. Karena itu, alasan relaksasi ini lebih bersifat politis untuk menenangkan masyarakat. Dengan adanya relaksasi minimal masyarakat merasa ada kehadiran dan perhatian dari pemerintah. Di tengah pandemi ini pemerintah tidak tinggal diam. Kebijakan ekonomi dalam PEN akan sia-sia jika tidak disokong dari sisi politik dan keamanan kondusif.

Seperti di masa kecil saya, tiap kali lebaran saya senang mendapat angpao lebaran dari kerabat. Saya akan bertanya-tanya ketika ada kerabat yang luput memberi angpao lebaran. Spock paham soal ini. Karena itu, meski kalkulasi matematisnya belum sempurna, saya kira, jika ia jadi Pimpinan IP PNBP ia pun akan menetapkan kebijakan relaksasi ini sebagai kebijakan politis. Spock tidak sedang berubah menjadi Homer. Spock hanya sedang berkompromi dengan pemikiran-pemikiran politiknya sebagai seorang diplomat PNBP.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar