Minggu lalu, usai rapat di Sentul, saya pulang ke rumah dengan taksi online. Di jalan, pengemudi bercerita tentang pekerjaan utamanya sebagai guru matematika dan pilihannya untuk tidak divaksin Covid-19. Terkait pilihannya itu ia membeberkar beribu alasan, mulai dari HAM hingga memberi kesempatan kepada warga Indonesia lainnya. Saya pun iseng melontarkan satu pertanyaan, “Tapi Bapak tidak takut jarum suntik, kan?” Ia pun hanya tertawa.
Sejatinya takut dengan jarum suntik adalah hal yang sangat manusiawi. Saya pun takut jarum suntik. Bahkan, Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan yang mantan Danjen Kopasus, pun takut jarum suntik. Prabowo, dalam beberapa kesempatan, pernah bercerita tentang ketakutannya pada jarum suntik. “Saya dulu waktu di tentara, paling takut sama dokter, takut disuntik,” kata Prabowo saat menjadi narasumber dalam seminar yang digelar Dewan Guru Besar Universitas Indonesia di Jakarta pada tahun 2018 silam.
Rasa sakit atau rasa tidak nyaman dari jarum suntik yang menembus kulit dan daging lebih konkret daripada manfaat yang kita peroleh setelah vaksinasi. Peningkatan kekebalan tubuh terhadap virus korona adalah sesuatu yang abstrak. Setelah disuntik vaksin Covid-19 kita tidak serta merta bisa mengetahui atau merasakan peningkatan imunitas.
Sama halnya dengan pajak. Ada rasa tidak nyaman ketika kita membayar pajak. Rasanya mirip dengan ketika kita disuntik. Untuk mengurangi atau menghialngkan rasa tidak nyaman tersebut, Adam Smith pernah mengemukakan asas kemudahan dalam pemungutan pajak. Asas kemudahan tersebut merupakan upaya untuk membantu warga negara agar dapat lebih mudah dalam membayarkan kewajiban pajaknya. Dalam implementasinya, pemungutan pajak dilakukan sesegera mungkin ketika wajib pajak menerima penghasilan atau melakukan pembelian.
Contoh riilnya, pajak penghasilan kita langsung dipotong dari gaji yang diterima setiap bulan. Contoh lainnya, saat membeli barang, biasanya harganya sudah termasuk pajak, baik itu hanya pajak penjualan atau adanya tambahan pajak penjualan atas barang mewah. Mungkin kita akan merasa barang yang kita beli harganya menjadi lebih mahal. Namun, justru dengan begitu kita dimudahkan untuk menghitung dan membayar pajaknya.
Bayangkan jika pajak pertambahan nilai harus dibayar setiap akhir bulan. Kita akan sangat kesulitan untuk menghitung satu per satu barang yang sudah kita beli di bulan tersebut. Belum lagi jika ternyata barang yang kita beli pada bulan tersebut cukup banyak, sehingga pajaknya juga banyak. Hal itu akan semakin memberatkan kita untuk membayar pajaknya.
Sangat manusiawi jika kita merasa enggan untuk membayar pajak. Sejumlah penghasilan kita yang harus dipotong untuk membayar pajak lebih konkret dibanding manfaat pajak yang kita rasakan. Tapi memang begitulah sifat pajak, seperti yang dikemukakan Rochmat Soemitro, bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat jasa timbal kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Okelah kita bilang salah satu manfaat pajak adalah untuk membangun jalan. Namun, bagaimana cara kita menelusuri uang pajak yang kita bayar bisa untuk mendanai pembangunan jalan umum yang dibangun di depan rumah kita? Jangan-jangan pembangunan jalan itu menggunakan pajak yang dibayar saudara kita di Padang, misalnya. Sementara, bisa jadi uang pajak yang kita bayar justru digunakan untuk membangun Puskesma di Atambua. Tidak ada wajib pajak yang tahu ke mana uang pajaknya akan mengalir. Yang bisa kita tahu adalah uang pajak kita, secara kolektif, digunakan untuk apa.
Itu baru salah satu fungsi pajak, yaitu yaitu fungsi anggaran (budgetair). Pajak masih memiliki satu fungsi lagi, yaitu fugsi pengaturan (regulerend). Fungsi regulerend adalah fungsi pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Dengan kata lain, pajak berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, semisal menarik investor, melindungi produksi dalam negeri, dan mengatur konsumsi.
Di masa Pandemi Covid-19, pemerintah banyak meberi insentif pajak sebagai relaksasi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Hingga bulan Juni 2022 saja, pemerintah memberi insentif PPh Pasal 22 impor dan angsuran PPh Pasal 25.
Insentif PPh Pasal 22 impor berupa pembebasan pemungutan kepada wajib pajak yang memiliki kode klasifikasi lapangan usaha sesuai ketentuan sebagai penerima keringanan. Terdapat 72 klasifikasi lapangan usaha yang dapat memperoleh insentif PPh Pasal 22 impor. Sementara itu, terhadap angsuran PPh Pasal 25, pemerintah memberi insentif kepada wajib pajak yang memiliki kode klasifikasi lapangan usaha sesuai penerima keringanan. Wajib pajak yang memenuhi kriteria tersebut dapat memperoleh pengurangan angsuran 50 persen.
Insentif pajak diberikan karena pungutan pajak yang terlampau tinggi di saat kondisi perekonomian sedang menurun akan mengganggu pemulihan ekonomi. Karena sejatinya, pemungutan pajak tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat laju usaha, terutama UMKM.
Insentif pajak, dalam jangka pendek, bisa jadi malah membuat pemerintah melakukan efisiensi atau mengurangi pos-pos belanjanya. APBN bisa ngilu karenanya. Rasanya seperti saat disuntik vaksin Covid-19. Akan tetapi, pada saat yang sama, pemerintah sedang meningkatkan iminutas APBN untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi.