zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Begal Tambang di Balik Historia Gestapu


Vivere pericoloso, sebuah ungkapan dari Bahasa Italia yang berarti hidup secara berbahaya. Ungkapan ini dipopulerkan oleh Sang Pemimpin Besar Revolusi dalam pidato kenegaraannya yang berjudul Tahun Vivere Pericoloso (TAVIP) pada peringatan HUT RI tahun 1964, setahun sebelum terjadinya peristiwa Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Dalam tersebut, Bung Karno menggambarkan situasi politik yang sedang dihadapi Indonesia ketika harus menghadapi Malaysia.

Judul pidato Bung karno tersebut ternyata menginspirasi Christopher Koch untuk menulis The Year of Living Dangerously, sebuah novel yang terbit pada tahun 1978 di Australia. Novel ini kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Sama seperti novelnya, yang mendapat penghargaan The Book of The Year Award oleh surat kabar The Age, film ini berhasil menjadi nominasi untuk berbagai penghargaan, seperti Palm d’Or di Cannes Film Festival, Australian Film Institute Awards, hingga Golden Globe dan Academy Awards.

Kisahnya berlatar Jakarta pada tahun 1965 menjelang dan saat terjadinya peristiwa Gestapu. Karena dianggap menggambarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan sejarah, pemerintah Orde Baru melarang film ini beredar di Indonesia. Sejarah tentang Gestapu adalah sejarah tentang orang-orang kalah. Sejarah resmi–yang dipelajari di buku-buku pelajaran sekolah–tentang Gestapu adalah sejarah tentang kejahatan dan kebiadaban semata.

Ketika berbicara tentang Gestapu, akan sangat membosankan jika hanya sebatas saling tuding tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab, PKI atau TNI. Karena itu, kali ini saya ingin lebih menyoroti bagaimana pengaruh Gestapu terhadap rezim pengelolaan pertambangan di Indonesia, lebih spesifiknya pertambangan mineral dan batubara (minerba), yang konon katanya saat ini masih dikuasai dan dijajah pemodal-pemodal asing. .

Ada yang menyebut Amerika Serikat adalah aktor di balik layar dari Gestapu. Memang pada saat itu Amerika sedang terlibat Perang Vietnam dan berusaha agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Keterlibatannya dimulai ketika pada 1 Februari 1960 Freeport Sulphur meneken kontrak kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi Gunung Ersberg. Namun, perubahan eskalasi politik di tanah Irian Barat mengancam keberlangsungan kerjasama tersebut. Hubungan Indonesia-Belanda memanas. Indonesia mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.

Mulanya, melalui direkturnya, Forbes Wilson, Freeport ingin meminta bantuan kepada Presiden Amerika, John Fitzgerald Kennedy, untuk mendinginkan situasi politik Irian Barat. Ironisnya, Kennedy justru mendukung Bung Karno. Kennedy mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika Belanda tetap mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan dana segar untuk membangun kembali negerinya pasca-Perang Dunia II terpaksa mundur dari Irian Barat.

Mundurnya Belanda dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama Freeport dengan East Borneo Company semakin sulit  untuk direalisasikan. Para pemimpin Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy tengah menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar USD11 juta melalui IMF dan World Bank.

Semuanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak yang menduga penembakan Kennedy merupakan konspirasi besar menyangkut kepentingan kelompok tertentu yang hendak mempertahankan hegemoninya terhadap kebijakan politik Amerika. Lyndon Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil sikap yang bertolak belakang dengan pendahulunya. Johnson mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya.

Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden tahun 1964, adalah Augustus C. Long, salah seorang Anggota Dewan Direksi Freeport. Pada Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen kepresidenan Amerika untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia Amerika di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Bung Karno.

Setelah pecahnya peristiwa Gestapu, kondisi Indonesia berubah total, tidak terkecuali peta pengelolaan sumber daya alamnya. Di bawah pemerintahan Orde Baru-nya Soeharto, sumber daya alam Indonesia diobral ke pemodal-pemodal asing. Benar-benar berbeda dengan cita-cita Bung Karno yang menginginkan sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri. Dalam rencananya, modal asing baru masuk Indonesia dua puluh tahun kemudian, setelah putra-putri Indonesia siap mengelolanya. Bung Karno tidak mau perusahaan asing masuk ketika orang Indonesia belum mampu mengelolanya.

Entah kebetulan atau tidak, setelah peristiwa Gestapu pada 1965, pengusahaan pertambangan minerba di lndonesia disebut-sebut mulai memasuki masa kebangkitannya. Diawali dengan ditetapkanya UU Penanaman Modal Asing (PMA) pada 10 Januari 1967 yang dilanjutkan dengan ditetapkanya UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Masih di tahun yang sama, pemerintahan Orde Baru menandatangani Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia. Selain sebagai kontraktor tambang asing pertama di Indonesia,  PT Freeport Indonesia juga merupakan pemodal asing pertama yang masuk ke lndonesia.

Selain itu, pemerintahan Orde Baru yang otoriter dengan dukungan militer juga turut mendorong terciptanya situasi politik dan keamanan dalam negeri yang memicu pertumbuhan sektor industri pertambangan. Pertambangan batubara yang hampir ditutup pada awal tahun 1970-an tumbuh begitu pesatnya. Produksi batubara lndonesia yang hanya 148 ribu ton pada tahun 1973, meningkat menjadi hampir 32 juta ton pada tahun 1994.

Melihat kenyataan-kenyataan ini seolah Soeharto ingin membalas hutang budinya kepada Amerika yang telah membantu menghancurkan PKI yang merupakan salah satu pilar kuat penopang pemerintahan Bung Karno. PKI dijadikan kambing hitam pembunuhan tujuh jenderal yang pro Bung Karno melalui Gestapu.

Sebagai generasi yang dilahirkan pada saat Orde Baru sedang bekuasa, satu hal yang sangat saya syukuri adalah tidak pernah sekali pun saya menonton Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, film dokumenter yang dibuat sebagai upaya untuk menciptakan pengkultusan terhadap Soeharto, yang pada masa itu selalu tayang di TVRI setiap tanggal 30 September. Saya hanya mendengar sedikit kisahnya dari teman sekolah yang sudah menontonnya. Setidaknya, itu membuat saya bisa lepas dari jeratan propaganda sejarah versi pemenang dalam tragedi Gestapu.

Sejarah memang selalu ditulis para pemenang. Tentu pemenang akan melakukan pembenaran atas kemenangannya. Penyingkiran, pembakaran, atau penghilangan paksa atas fakta-fakta sejarah yang tidak memihaknya adalah hal yang harus dilakukan demi melanggengkan rezim kekuasaannya. Mereka yang bersuara lain terpaksa harus dibungkam dan diberangus habis.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar