zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Ketika Anak-anak Lupa Cara Bermain

Sore ini, langit mendung Jakarta memaksa orang-orang untuk bergegas kembali ke peraduannya masing-masing. Begitu pun saya, bergegas pulang ke kosan. Namun entah harus gembira atau kecewa. Langit urung meneteskan hujan. Gembira karena saya bisa mencari sebungkus nasi tanpa harus berbasah-basah ria atau kecewa karena setelah buru-buru pulang ternyata tidak jadi hujan. Mungkin sama seperti kekecewaan anak-anak yang saya temuin lusa kemarin, saat hujan turun, lembar rupiah yang mereka mampu mengganti kerjas kerasnya. Basah kuyup mengantar orang-orang yang meminjam payung mereka. Mendung sore ini yang tidak berakhir hujan mungkin mengecewakan mereka. Memang tidak akan habis cerita apabila kita menulis tentang hujan.


Sambil menunggu pesanan, saya singgah di sebuah mini market.

"Beli.." seorang anak kecil memanggil kasir yang sedang ke belakang. Persis seperti mau jajan di warung.

"Beli apa, Tong?"

"Beli voucher game online, dua ya." lalu anak itu menyodorkan tiga lembar uang, dua lembar uang lima ribuan dan selembar uang sepuluh ribuan.

Mungkin saya memang ketinggalan banyak informasi. Karena bahkan saya baru tahu kalau di mini market itu sekarang juga menjual voucher game online. Saya biasanya hanya membeli voucher internet untuk modem ini. Entahlah, antara bangga dan kasihan. Bangga karena anak sekarang sudah lebik melek teknologi, tidak seperti saya yang lulus SMA pun bahkan masih gagap teknologi, dan kasihan melihat mereka tidak bisa bermain, bermain dalam arti klasik.

Saya pandangi anak kecil itu, dari ujung rambutnya yang kusut sampai ujung kakinya yang bahkan tidak beralas. Astaga! Dia mampu untuk membeli dua buah voucher game online tapi untuk membeli sepasang sandal jepit pun bahkan dia belum mampu. Dia lebih mendahulukan kebutuhan tersier (bermain game online) daripada kebutuhan primernya (membeli sandang).

Entahlah, saya tidak tahu dari mana uang itu dia dapatkan. Saya tidak yakin apabila orang tuanya memberi uang sebanyak itu hanya untuk memberli voucher game online. Melihat dari kakinya yang tidak beralas, saya menyimpulkan bahwa dia bukan berasal dari keluarga kaya. Dulu saya pernah ditipu anak kecil seperti dia. Waktu itu saya pulang kuliah, di jalan saya bertemu dengan seoranag anak kecil yang wajahnya sangat memelas. Dia bilang dia disuruh membeli beras tapi uangnya tidak cukup. Karena kasihan, saya beri dia selembar rupiah. Tak berapa lama, dia lari ke dalam warnet yang ada di pinggir jalan. Astaga, saya ditipu anak ingusan! Sejak itu, sebuah koin pun jarang saya berikan kepada anak kecil yang meminta-minta. Termasuk kepada pengamen. Lebih baik mengumpulkan koin-koin itu lalu menyalurkannya ke lembaga yang bisa menyalurkannya ke tangan anak yang lebih membutuhkan.


Selain bermain game online, pilihan lainnya adalah bermain di got saluran pembuangan air.


Juga bermain di kali yang airnya sudah sangat keruh dan bau, tercemar. Bagi anak-anak yang hidup di kota-kota besar, seperti Jakarta, itu sudah menjadi hal lumrah. Sangat berbeda dengan masa kecil saya. Ketika masa itu saya masih bisa bermain di kebun, di hutan, atau berlarian di tengah sawah bersama bebek peliharaan saya. Si Ocel nama pendeknya, lengkapnya Dogoncel. Seekor bebek yang lahir dari dekapan seekor induk ayam. Sedih juga melihat anak-anak itu. Bahkan mungkin bukan lupa, tapi mereka tidak pernah tahu bagaimana gembiranya bermain. Bermain ala anak desa. Bermain seperti saya ketika masih kecil.


Untuk bermain bola di pinggir rel kereta api.


Juga bermain bola di jembatan penyebrangan. Keselamatan harus mereka pertaruhkan untuk sebuah kata, bermain. 


Tidak hanya anak-anak. Beberapa orang dewasa pun terpaksa harus bermain di rooftop gedung.

Belum lagi hiburan yang disuguhkan. Iya, TV. Selain game online, tentunya banyak anak yang sangat tergila-gila dengan tontonan di TV. Sayangnya, apa yang disajikan di kebanyakan stasiun TV tidak cukup laik untuk ditonton anak seumuran mereka. Jangankan anak-anak, ditonton orang dewasa pun belum tentu laik. Mending jika orang tuanya peduli dengan apa yang ditonton anaknya, jika tidak? Entahlah...

Sudahlah, kita akhiri saja kegalauan ini. Selamat belajar!

______________________
Sumber gambar: Tempo | Inilah | Tempo | Tempo | Media Indonesia | Tempo
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

10 komentar

  1. ane jrang euy main game online pling sering cm ngeblogging. lbih enak yg offline klo ane bilang xiixixxi komen back yaw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu kan tergantung selera, mau online atau ofline. Bisa juga tergatung dengan koneksi internetnya. :P

      Hapus
  2. miris juga ya, game online ini adiktif banget udah kayak nikotin. ada temenku yang sampe bela-belain begadang semalem suntuk di warnet cuma untuk nge-game. orang dewasa, yang notabene dianggap bisa memilah baik-buruk aja seperti itu, apalagi anak-anak... :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga pernah, Mba. Memang bukan game online. Begadang semalam suntuk main PES dengan teman-teman kuliah, padahal waktu itu bulan puasa. Susah memang kalau sudah kecanduan. :(

      Hapus
  3. Kalo voucher game online itu pakenya gimana ya?
    Acara2 di tv sekarang ini banyak banget ga mendidiknya. Segala sinetron cinta2an anak abg, bully disekolah, ga ada yang bener.. Jadi kangen sinetron mendidik kayak keluarga cemara :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dengan memasukkan kode-kode tertentu seperti mengisi voucher pulsa.
      Iya, kangan Teh Euis, Ara, dan Agil. :3

      Hapus
  4. Suka bingung juga sih
    Yang salah siapa ya kalo udah begini?
    Orang tua yang membiarkan anaknya main game online sampe berjam2 karena sibuk kerja. Alasannya, mending main game aja, nggak panas, nggak dipinggir jalan, nggak kemana2...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tidak akan habis memang kalau kita mau mencari kambing hitamnya. :/

      Hapus
  5. wah..pemerintah harus buat lapangan olah raga kalo gitu..kasihan nih anak2 energinya disalurkan di tempat yg tdk tepat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tapi ini bukan hanya masalah pemerintah. :)

      Hapus