Jam menunjukkan pukul 00.07, terjebak dalam kemacetan arus balik mudik Idul Adha membuat saya tiba di Jakarta pada dini hari. Cililitan, satu kawasan di Jakarta Timur merupakan destinasi terakhir bis yang saya naiki. Masih cukup jauh dari kediaman saya di bilangan Jakarta Pusat. Saya pun meneruskan perjalanan ke arah Jatinegara, Kampung Melayu, kemudian berbelok ke arah Pasar Senen.
Sebenarnya ada dua alternatif, antara naik taksi atau mikrolet. Ongkosnya pun hampir sama. Karena toh kalau saya naik mikrolet pun tetap saja harus naik taksi dari Senen. Tapi sama membandel dan memilih untuk naik mikrolet saja. Ikut merasakan dinginnya angin malam ibu kota. Melihat sendiri geliat kehidupan malam yang seolah tidak pernah tertidur.
Ada dua orang dalam mikrolet yang saya naiki. Sorang sopir dan seorang penumpang perempuan. Seorang perempuan yang terlihat kumal. Keduanya duduk di kursi depan. Sementara saya terduduk sendirian di barisan bangku belakang.
“Abang maennya di daerah X ya?” perempuan tadi menyebut salah satu kawasan di Jakarta Pusat.
“Iya.” sopir menjawab singkat.
“Katanya di sana tarifnya 50 ke atas ya?”
“He’em.” lagi jawaban singkat.
“Di sana cakep-cakep kali ya? Gue turun di sini aja, Bang. Makasih ya.” perempuan itu turun tanpa membayar ongkos.
Mulanya saya kira mereka membicarakan tarif kontrakan atau harga rumah di Jakarta. Ternyata bukan, melainkan tarif perempuan pekerja seks (PS).
Ternyata tidak hanya daerah yang dibicarakan sopir mikrolet tadi yang merupakan daerah remang-remang di Jakarta. Salah satu kawasan di bilangan Jakarta Timur juga sering menjadi tempat mangkal para perempuan PS. Begitu cerita teman kantor saya ketika dalam perjalanan ke Bekasi kami melewati kawasan tersebut. Teman saya seringkali harus melewati kawasan tersebut di malam hari ketika pulang lembur. Katanya, sekitar habis maghrib banyak PS yang menjajakan dirinya di pinggir jalan. Namun, sekitar pukul 20 sampai pukul 21 kawasan tersebut mulai sepi.
Seringkali beberapa alasan diajukan oleh PS sebagai pembenaran atas jalan hidup yang mereka pilih. Salah satu teman blogger Jogja pernah bercerita tentang PS yang tinggal di salah satu lokalisasi di Jogja. Tentang perempuan yang memilih jalan hidup sebagai PS karena harus menghidupi anaknya yang ditinggal di kampung, membiayai sekolahnya. Bahkan ketika saya berkunjung spot-spot PS di Bali, saya mendengar kesaksian yang membuat saya tercengang. Di sana ada suami-suami yang sengaja menyuruh istrinya untuk menjadi PS. Bahkan sang suami sendiri yang mengantar istrinya berangkat ke “tempat kerja”.
Entahlah, saya tidak ingin menghakimi. Karena bahkan saya bukan Tuhan yang berhak menghakimi. Saya hanya sedang ingin bercerita tentang kehidupan malam di kota-kota besar. Jadi teringat petuah seorang senior di kantor, “Hidup di Jakarta itu harus punya standar moral. Biar kita ga kebawa arus pergaulannya.” Seperti testimoni seorang teman yang belum setahun hijrah dari Surabaya ke Jakarta. Katanya, di Jakarta itu berbagai tipe perempuan ada, mulai dari yang hanya mengenakan bikini sampai yang mengenakan abaya lengkap dengan cadarnya.
Banyak orang yang berpendapat bahwa tidak mudah untuk menjadi orang baik di ibu kota. Tapi jangan-jangan menjadi orang baik di ibu kota itu terlalu mudah karena tidak banyak saingan. Bahkan saking mudahnya hanya sedikit orang yang berminat karena dianggap tidak menantang.
Dari senen saya melanjutkan perjalanan ke arah Cempaka. Mengikuti hembusan angin malam. Meninggalkan seberkas kesan buram tentang kehidupan malam ibu kota.
____________________
Sumber gambar: deviantART
duh parah banget nie . T.T terkpung oleh peluang AIDS dan HIV yang tersebar komen back yaw
BalasHapus