zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Mang Dudung


Hari ini Ucen sedang ada tugas di luar kantor. Tapi sorenya Ucen terpaksa harus ke kantor karena ada surat yang harus diambil. Sebelum pulang, Ucen mampir dulu di depan kantor untuk sekadar makan nasi goreng bersama Otong dan Ucok. Sehabis solat maghrib barulah Ucen pulang ke kosannya.

Seperti biasa, Ucen menunggu Metromini di depan kantornya. Tak perlu menunggu lama Metromininya lewat. Pas Ucen naik ternyata di dalam sudah ada Mang Dudung, teman lama Ucen. Mang Dudung adalah office boy di kantor sebelah kantornya Ucen. Mang Dudung orangnya baik. Agamanya juga taat. Kalau office boy kan jam sibuknya di jam-jam istirahat, pas lagi banyak yang menyuruh membeli makan siang. Kalau lagi senggang, Mang Dudung biasanya ngobrol bersama cleaning service di kantoornya. Kalau tidak, Mang Dudung tadarusan di musola kantor.

"Cen, di kantor kamu ada lowongan ga?"

"Loh, kok? Emang di kantor yang sekarang kenapa, Mang?" Ucen kaget tiba-tiba Mang Dudung mengawali obrolan dengan pertanyaan yang cukup aneh.

Kemuadian Mang Dudung cerita tentang kegalauannya. Mang Dudung sudah sangat lama mengabdi di kantornya yang sekarang. Sejak peletakan batu pertama sekitar 12-an tahun silam, Mang Dudung sudah bekerja di kantor itu. Mang Dudung berharap nasibnya bisa lebih baik ketika perusahaan tempatnya berkeja sudah go international. Ternyata tidak, nasib Mang Dudung tidak semujur bos-bosnya. Bahkan katanya honornya masih di bawah UMP. Ditambah lagi sekarang Mang Dudung sudah dipindah ke divisi lain. Bosnya juga sudah berbeda. Dan, seringkali bos barunya tidak paham keadaan Mang Dudung. Menyuruh juga seenaknya. Kalau diminta membeli makan siang juga sering uangnya pas. Padahal dengan bos lamanya kalau uang yang dikasih ke Mang Dudung pas, Mang Dudung masih berani meminta uang jalan.

"Anak Mang Dudung ada berapa?" Ucen mencoba mengalihkan topik.

"Cuma satu. Anak angkat."

"Oh, udah umur berapa."

"Sekarang udah kelas 4. Isteri saya sakit kista..."

Ternyata strategi pengalihan topik Ucen salah. Mang Dudung jadi curhat tentang isterinya. Katanya isterinya divonis dokter menderita kista. Karena itu pula sampai sekarang Mang Dudung belum diakruniai seorang anak kandung. Isterinya yang menjadi guru TK Islam di Bekasi begitu menderita dengan penyakit yang menderanya. Entah bagaimana rasa sakitnya. Kata dokter, kistanya itu harus dioperasi. Tapi biayanya tidak murah, harus ada 14 juta. Apa daya, Mang Dudung tidak punya biaya untuk operasi. Akhirnya isterinya itu hanya dibawa berobat ke tabib, pengobatan alternatif.

Mendengar cerita Mang Dudung, Ucen merasa sangat sedih. Sering sekali Ucen merasa menjadi orang yang mendapat cobaan paling berat. Setelah mendengar cerita Mang Dudung, Ucen tahu kalau masih ada orang-orang yang mendapat cobaan yang lebih berat dari Ucen. Lebih hebatnya lagi, Mang Dudung tampak lebih sabar dan lebih tabah menghadapai segala cobaan itu, dibanding Ucen. Yang membuat Ucen semakin sedih, Ucen tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu temannya itu.

Ucen hanya bisa berharap agar Mang Dudung bisa segera keluar dari segala ujian dalam hidupnya itu. Ucen tahu Mang Dudung orangnya sabar, rajin, dan sangat jarang mengeluh. Beda sekali dengan Ucen. Tapi memang orang baik seperti Mang Dudung sering mendapat cobaan yang begitu berat. Tapi mungkin itu cara Tuhan mencintai hambanya. Karena mungkin kalau Mang Dudung hidup dengan gaya hidup yang mewah dan tidak mendapat cobaan seperti itu, Mang Dudung akan sering lupa dengan Tuhannya.

"Sabar ya, Mang Dudung."
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

1 komentar