zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Implikasi Kebijakan Fiskal


Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan untuk mengendalikan keseimbangan makroekonomi dengan mekanisme perancangan pendapatan dan belanja pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter yang bertujuan untuk mengatur jumlah uang beredar. Akan tetapi, kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Dalam jangka pendek, kebijakan fiskal bertujuan untuk mempengaruhi sisi permintaan agregat suatu perekonomian. Melalui peningkatan kapasitas perekonomian, kebijakan fiskal juga dapat mempengaruhi sisi penawaran yang sifatnya lebih berjangka panjang. Selain itu, kebijakan fiskal sangat erat kaitannya kebijakan moneter dalam pengelolaan stabilitas sistem keuangan.

Pada mulanya, kebijakan keuangan pemerintah dipandang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja dan permintaan agregat. Pada saat itu, peran pemerintah hanya sekadar merelokasi sumber daya finansial dari swasta ke pemerintah. Pandangan seperti ini diantaranya dikemukakan oleh Say’s Law, bahwa dalam kondisi full employment, setiap tambahan belanja pemerintah akan menyebabkan penurunan belanja swasta (crowding out) dalam jumlah yang sama. Belanja tersebut juga tidak akan mengubah pendapatan agregat.

Paradigma tersebut kemudian diubah oleh Keynes. Keynes mengemukakan bahwa kebijakan fiskal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perekonomian. Sejak saat itu, para ekonom mulai mempertimbangkan dampak makro atas belanja pemerintah dan pajak. Keynes menekankan bahwa kenaikan belanja pemerintah tidak hanya memindahkan sumber daya dari swasta ke pemerintah. Selain itu, Keynes juga mengemukakan adanya dampak berganda (multiplier effect) dari belanja pemerintah tersebut.

Pendekatan Keynesian mengasumsikan adanya price rigidity dan excess capacity sehingga output ditentukan oleh permintaan agregat (demand driven). Keynes menyatakan bahwa dalam kondisi resesi, perekonomian yang berbasis mekanisme pasar tidak akan mampu untuk pulih tanpa adanya intervensi pemerintah. Kebijakan moneter tidak berdaya untuk memulihkan perekonomian karena hanya bergantung kepada penurunan suku bunga sementara dalam kondisi resesi tingkat suku bunga umumnya sudah rendah dan bahkan dapat mendekati nol.

Dalam pendekatan Keynes, kebijakan fiskal dapat menggerakkan perekonomian karena peningkatan belanja pemerintah atau pemotongan pajak menciptakan multiplier effect dengan cara menstimulasi tambahan permintaan untuk barang konsumsi rumah tangga. Demikian halnya dengan apabila pemerintah melakukan pemotongan pajak sebagai stimulus perekonomian. Pemotongan pajak akan meningkatkan disposable income dan pada akhirnya akan mempengaruhi permintaan. Kecenderungan rumah tangga untuk meningkatkan konsumsi dengan meningkatkan marginal prospensity to consume, menjadi rantai perekonomian untuk peningkatan belanja yang lebih tinggi dan pada akhirnya akan berdampak terhadap output.

Pengembangan model Keynesian memungkinkan adanya tambahan dampak crowding out melalui perubahan yang disebabkan oleh suku bunga dan nilai tukar. Crowding out terjadi apabila pemerintah menyediakan barang dan/atau jasa yang menggantikan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor swasta. Tingkat crowding out akan mempengaruhi seberapa besaran multiplier effect yang dihasilkan tetapi tidak akan mempengaruhi arahnya.

Selain soal multiplier effect, aspek penting lainnya adalah soal sinkronisasi kebijakan fiskal dengan siklus bisnis perekonomian. Idealnya, kebijakan fiskal memiliki fungsi sebagai automatic stabilizer perekonomian. Artinya, dalam kondisi perekonomian sedang mengalami ekspansi, belanja pemerintah seharusnya berkurang atau justru penerimaan pajak yang seharusnya bertambah. Sebaliknya, jika perekonomian sedang mengalami kontraksi, kebijakan fiskal seharusnya ekspansif melalui peningkatan belanja atau penurunan penerimaan pajak. Dengan demikian, automatic stabilizer kebijakan fiskal mensyaratkan adanya fungsi countercyclical dari kebijakan fiskal.

Dalam beberapa laporan hasil penelitian, belum ditemukan adanya countercyclicality dalam kebijakan fiskal di Indonesia. Karakter kebijakan fiskal Indonesia lebih cenderung asiklikal atau bahkan prosiklikal. Simpulan tersebut juga diperkuat oleh hasil riset yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hasil riset tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan fiskal Indonesia cenderung bersifat asiklikal secara agregat atau justru prosiklikal jika didasarkan pada pengelompokkan belanja. Sifat siklikalitas yang seperti ini berpotensi memberikan tekanan instabilitas dalam perekonomian, seperti kenaikan inflasi. Plotting antara rasio belanja pemerintah, dengan tidak memasukkan pembayaran bunga, dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan adanya hubungan yang searah pada periode setelah krisis 1998. Sebelum krisis 1998, hubungan di antara kedua variabel tersebut cenderung berlawanan arah.

Kemudian, krisis keuangan global 2008 telah memaksa pemerintah di hampir setiap negara untuk mengambil tindakan diskresi berupa kebijakan fiskal yang countercyclical. Kontradiktif dengan beberapa laporan hasil penelitian tadi, dalam penyampain Nota Keuangan dan RAPBN 2010, Presiden SBY menegaskan kembali komitmen pemerintah dalam rangka menanggulangi dampak krisis keuangan global 2008 melalui kebijakan fiskal yang countercyclical sebagai kelanjutan program stimulus fiskal yang telah digulirkan sebelumnya.

Pada hakekatnya, negara-negara berkembang lebih memilih untuk mengambil kebijakan fiskal yang tidak countercyclical. Alasan utamanya yaitu terkait dengan keterbatasan sumber daya finansial dan kelemahan institusional. Kelemahan institusional tersebut di antaranya terkait dengan adanya kelompok yang cukup berpengaruh dalam masyarakat yang berusaha agar kepentingannya dapat diakomodasi oleh pemerintah. Kelemahan ini menyebabkan terjadinya diskresi kebijakan fiskal yang dapat menyebabkan volatilitas inflasi yang lebih tinggi. Transmisi kebijakan fiskal ke inflasi dapat melalui permintaan agregat, spillover public wages ke sektor swasta, serta pengaruh pajak terhadap biaya marjinal dan konsumsi swasta. Selain itu, kebijakan fiskal berdampak terhadap inflasi melalui ekspektasi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah untuk membayar surat utangnya.

Pengaruh belanja pemerintah terhadap Gross Domestic Product (GDP) masih lebih dominan dibandingkan dengan pajak. Hal ini menunjukkan kebijakan fiskal dengan mengendalikan belanja pemerintah masih lebih efektif dibandingkan dengan pajak dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi, khususnya dalam masa resesi. Dampak belanja pemerintah terhadap penurunan inflasi dapat terkait dengan multiplier effect dari belanja pemerintah untuk pembiayaan investasi, termasuk di antaranya pembiayaan infrastruktur, yang lebih besar dibandingkan belanja rutin. Belanja pemerintah untuk pembiayaan infrastruktur dapat memperbaiki distribusi barang dan jasa sehingga berkontribusi terhadap penurunan inflasi. Dampak kenaikan inflasi akibat peningkatan pajak dapat dipicu oleh peningkatan pajak yang dipandang sebagai peningkatan biaya produksi dan biaya penjualan kepada konsumen.

Optimalisasi penyerapan anggaran belanja pemerintah yang optimal akan dampak positif terhadap kesehatan fiskal, termasuk optimalisasi melalui pemotongan anggaran belanja pemerintah tersebut. Hal ini serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan, Agus D.W. Martowardojo, bahwa pemotongan belanja pemerintah dapat dilakukan untuk menjaga kemungkinan pelebaran defisit anggaran, akibat potensi kelebihan belanja subsidi dan tersendatnya penerimaan perpajakan akibat krisis global. Tujuannya adalah agar pemerintah dapat menjaga defisit anggaran dan mempertahankan keseimbangan makroekonomi melalui stabilisasi sistem keuangan dan kesehatan fiskal.

____________________
Sumber gambar: The World Bank
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

Posting Komentar