zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Student Loan Terselubung


Ketika sedang blogwalking, tidak sengaja saya membaca blog post yang berjudul "My Two Cents on Generation Y". Sang blogger, Riley Toliver, ternyata seumuran dengan saya. Kami sama-sama termasuk kedalam Generasi Y. Tapi bukan itu yang ingin saya tulis malam ini. Dalam tulisannya dia sempat menyinggung-nyinggung soal model student loan yang diterapkan di negaranya, Amerika Serikat. Persoalan mengenai student loan inilah yang ingin coba saya beberkan malam ini.

Student loan bukanlah suatu produk baru. Beberapa negara maju seperti Inggris, Selandia Baru, Australia, Canada, Norwegia, Irlandia, India, Jerman, Swedia, dan Denmark, termasuk juga Amerika Serikat, sudah lama menerapkan model student loan. Student loan merupakan semacam kredit atau pinjaman kepada mahasiswa kurang mampu agar dapat menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi. Yang namanya kredit atau pinjaman, tentu saja tidak gratis. Ketika mahasiswa yang mendapatkan student loan ini telah lulus dari kampusnya, dia harus mengganti biaya kuliahnya.

Kabar buruknya, banyak pihak yang menilai bahwa model student loan yang diterapkan pula di Amerika Serikat ini adalah produk gagal. Buktinya, student loan di Amerika Serikat sudah mencapai lebih dari USD1 triliun. Silakan coba hitung sendiri berapa nilainya jika dikonversi ke rupiah. Artinya, mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi di Amerika Serikat menanggung utang yang tidak sedikit.

Indonesia juga pernah menerapkan model student loan ini, yaitu pada masa orde baru. Kala itu namanya adalah Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Mekanismenya, kredit akan dicairkan pada saat mahasiswa menyelesaikan tugas akhir dan harus dikembalikan setelah lulus. Sebagai jaminan, ijazahnya akan ditahan sampai dia bisa membayar lunas utangnya. Pada kenyataannya, banyak penerima KMI yang tidak sanggup membayar utangnya tersebut.

Model student loan sebetulnya melanggar konstitusi. Pada pembukaan UUD 1945 disebutkan dengan tegas bahwa salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, negara harus membuka ruang seluas-luasnya agar mahasiswa bisa mengakses pendidikan yang berkualitas. Bahkan, Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyebutkan, bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran." Artinya, negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pengajaran yang bisa diakses dengan mudah oleh seluruh rakyat Indonesia. Artinya, pendidikan tersebut seharusnya digratiskan oleh negara, supaya bisa diakses oleh seluruh rakyat. Seharusnya mahasiswa penerima KMI tidak perlu menanggung utang dan menjadikan ijazahnya sebagai jaminan.

Dalam salah satu blog post saya beberapa bulan yang lalu, saya pernah menyinggung soal Pasal 111 UU pendidikan Tinggi. Dalam pasal tersebut diatur mengenai pinjaman dana pendidikan (student loan). Di mana saat itu sedang dilakukan judicial review atas beberapa pasal dalam UU Pendidikan Tinggi tersebut, termasuk di antaranya adalah Pasal 111 ini. Alasannya tentu saja adalah Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.

Ternyata, setelah masa orde baru pun masih ada kampus yang menerapkan model student loan ini. Di mana ada suatu kampus yang mengharuskan lulusannya untuk membayar biaya ganti rugi sebesar Rp30 juta agar bisa mendapatkan ijazahnya. Jika tidak, selama jangka waktu sepuluh tahun dia tidak akan pernah bisa memegang ijazah aslinya. Dan, tentu saja dia tidak bisa mendapatkan haknya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena untuk mendapatkan salinan ijazahnya pun dia harus menunggu selama jangka waktu tertentu. Hal tersebut tertuang dalam KMK Nomor 289/KMK.014/2004.

Mirisnya, model student loan yang diterapkan adalah terselubung. Akibatnya, sebagian banyak penerima student loan tersebut tidak tahu kalau sebenarnya dia harus menanggung utang karena ternyata kuliahnya yang dianggap gratis itu tidaklah gratis. Jika argumen saya tidak keliru, bahwa yang tertuang dalam KMK tersebut dapat dikategorikan sebagai student loan, lalu bagaimana statusnya? Bukankah hal tersebut bertentangan dengan konstitusi?

Terlepas dari inkonstitusional atau tidak, memang untuk mendapatkan kesempatan agar dapat mengenyam pendidikan tinggi tidaklah mudah. Itu pula alasan saya memutuskan untuk mengambil "student loan terselubung" tersebut. Bisa dibilang, saya termasuk yang beruntung, karena banyak teman-teman saya yang harus putus sekolah karena mahalnya biaya pendidikan. Tapi bukan soal itu yang ingin saya highlight di sini. Yang sangat saya sayangkan adalah kenapa model student loan tersebut harus terselubung. Buktinya, banyak penerimanya yang tidak sadar. Banyak yang beranggapan bahwa biaya kuliahnya adalah gratis, nyatanya tidak. Dan, ini dibiarkan begitu saja. Kata gratis tersebut masih selalu menjadi embel-embel promosi kampus.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

3 komentar

  1. Student Loan baru pertama kali denger, tapi kasian juga klo mahasiswanya harus nanggung beban utang. belom tentu abis lulus langsung kerja.

    BalasHapus
  2. wah...susah ya...mau pinter aja harus utang dan bukti pinternya (ijasah) baru didapat setelah ditebus...

    BalasHapus
  3. tulisan yang bisa menjadi pelajarna berharga, semoga yang ingin mengambil Studen Loan menjadi lebih cermat

    BalasHapus