zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

PTUN-kan Saja


"Bahwa untuk menjamin kepastian hukum bagi mahasiswa dan lulusan Program Diploma Bidang Keuangan." Begitulah cuplikan konsideran menimbang dalam salah satu Keputusan Menteri Keuangan (KMK).

Tidak ada yang pasti dalam hidup ini, kecuali kematian. Begitu pula dengan judi dan investasi. Sama-sama tidak ada kepastian dalam beinvetasi maupun berjudi. Tapi ada yang membedakan keduanya, spekulasi (gambling). Judi adalah spekulasi, investasi bukan. Salah satu yang membuat investasi bukan merupakan spekulasi adalah adanya sistem yang jelas yang kemudian dituangkan ke dalam aturan hukum sehingga tercipta suatu kepastian hukum. Meski investasi belum pasti untung, tapi sudah pasti faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan kerugian. Itulah kenapa kita membutuhkan suatu kepastian hukum.

Beberapa bulan yang lalu diadakan Tes Kompetensi Dasar (TKD) bagi CPNS yang berasal dari lulusan STAN. Tentu saja konsekuensi dari sebuah tes adalah adanya lulus dan tidak lulus. Itu merupakan suatu hal yang sudah sangat lumrah. Namun, menjadi tidak lumrah ketika terindikasi bahwa tes tersebut bertentangan dengan aturan yang berlaku sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.

Dalam salah satu pasal dari KMK yang konsiderannya saya kutip tadi didefinisikan bahwa Ikatan Dinas adalah perjanjian antara Menteri Keuangan dan Mahasiswa Program Diploma Bidang Keuangan mengenai perjanjian wajib kerja dengan syarat-syarat dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan ini. Di sana diatur mengenai perjanjian wajib kerja serta syarat-syarat dan ketentuannya.

Konon, ada beberapa orang CPNS yang tidak lulus TKD. Kita abaikan apakah dia tidak lulus karena memang tidak ingin bekerja di Kementerian Keuangan atau tidak lulus karena memang tidak mampu untuk lulus dalam seleksi tersebut. Konon katanya, lagi-lagi konon, yang tidak lulus ini diharuskan membayar ganti rugi untuk mendapatkan ijazahnya. Padahal, sebelumnya mereka sudah mengisi perjanjian wajib kerja sebagaimana disebutkan dalam KMK tadi.

Jika kabar ini bukan lagi sebuah kabar burung, jelas sangat bertentangan dengan aturan yang berlaku. Perjanjian wajib kerja tersebut memiliki dasar hukumnya yang jelas. Dan, ketika KMK yang menjadi dasar hukum tersebut ditandatangani, tidak ada klausul yang mengatur tentang TKD. Artinya, ketika ada TKD yang berdampak terhadap perjanjian wajib kerja, seharusnya peraturannya dirubah terlebih dahulu. Jika tidak, yang terjadi adalah adanya ketidakpastian hukum. Aturan yang ada berkata A sedangkan pelaksanaannya B. Kalaupun peraturan tersebut bisa diubah, apakah adil jika kemudian diberlakukan surut? Yah, jangankan cuma sekelas KMK, undang-undang saja masih berani dilanggar.

Jika memang benar-benar bertentangan, PTUN-kan saja! Tapi memang tidak semudah itu untuk bisa naik ke PTUN. Terkadang situasinya begitu complicated. Seperti ketika ada yang melanggar undang-undang tadi. Beberapa orang yang dirugikan "dipaksa" mengalah agar tidak ada pertumpahan darah yang lebih besar. Bahasa klisenya "mengalah untuk menang".

Sebagai perbandingan, kita tengok apa yang terjadi pada para penerima beasiswa dari Bank CIMB Niaga. Mereka tetap diwajibkan untuk menjalani masa ikatan dinasnya di Bank CIMB Niaga. Jika tidak, mereka harus mengganti 50% dari total dana beasiswa yang telah mereka terima. Tidak ada tes yang membuat mereka tidak dapat menjalani masa ikatan dinasnya. Kalau pun ada tes, tes tersebut diadakan agar mereka bisa menduduki posisi atau jabatan tertentu. Jika tidak mengikuti tes, konsekuensinya mereka hanya menjadi staf biasa. Berbeda dengan TKD. TKD ini semakin membuat ikatan dinas yang ada di suatu institusi seolah merupakan student loan terselubung.

Seorang mahasiswa pernah menulis di koran kampus. Tulisannya berhasil mebuat banyak orang termotivasi. Mario Tegus pun lewat. "Hai mahasiswa (khususnya mahasiswa STAN)! Tolonglah, tolong banget, di-upgrade itu mental dan pemikirannya." Entah pemikiran mana yang harus di-upgrade. Karena anehnya, tulisannya justru terkesan pasrah. Seolah ingin berkata, "Sabar, kakak juga dulu seperti itu." Jangan-jangan justru mental seperti gajah yang diikat tali ijuklah yang seharusnya di-upgrade.

Sebuah reformasi lahir karena ada semangat dan keberanian untuk berubah menjadi lebih baik. Begitu pula dengan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi hanya menjadi omong kosong jika tidak ada keberanian untuk berubah. Reformasi tidak akan pernah ada ketika kita hanya bisa pasrah pada kondisi yang ada. Sabar dan pasrah bedanya memang tipis.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar