"Jika memang takut, apakah itu berarti kita tak kan pernah melakukannya?"
-Butet Manurung
Hari Minggu kemarin, dari pagi hingga sore saya hanya bercengkrama dengan buku-buku yang belum selesai saya baca. Hingga secara tidak sengaja saya teringat sebuah film yang baru tayang di bioskop, "Sokola Rimba". Beruntung, ada sahabat saya yang mau menemani saya menonton film ini padahal ketika itu sudah pukul 17.00 waktu Jakarta. Saya pun segera meluncur ke bilangan Pondok Indah. Meski mendadak, jadi juga kami menonton film ini. Memang terkadang sesuatu yang tidak direncanakan bisa lebih mudah terwujud daripada yang sudah direncanakan sedari jauh hari.
Saat membeli tiket, terlihat film ini sedikit peminatnya, banyak bangku yang masih kosong. Ditambah lagi banyak film Hollywood yang juga baru dirilis. Saya tahu, ketika menonton, kita ingin film yang kita tonton menyuguhkan cerita, sinematografi, dan sisi artistik lain yang sangat bagus. Tetapi kadang ada sisi lain yang kita cari dari sebuah film, di samping sisi artistik tadi. Sisi itulah yang sedang saya cari dari "Sokola Rimba".
Kata Butet, ketika membantu orang rimba untuk belajar, tidak boleh dilandasi rasa kasihan melainkan harus dengan rasa sayang. Sama halnya ketika kita hendak membantu anak-anak, termasuk anak jalanan, untuk belajar. Jangan karena kasihan. Memang terlihat sederhana, tetapi seperti kata sahabat saya, "Dari mengetahui motivasi seseorang kita bisa memahami perilakunya." Bukan tidak mungkin perbedaan antara rasa kasihan dengan rasa sayang itu akan sangat jelas terasa oleh mereka.
Tidak sedikit orang kota, selain Butet, yang datang ke rimba menjadi pahlawan yang membantu orang rimba belajar membaca, menulis, dan berhitung. Padahal tidak menutup kemungkinan jika sebenarnya justru orang kita yang seharusnya lebih banyak belajar dari orang rimba. Pintar bukan jaminan untuk menjadi bijak. Oleh karena itu, saya kira para pengambil kebijakan perlu belajar banyak dari kearifan orang rimba.
Ketika orang rimba belum bisa membaca, sering mereka tertipu dengan kontrak yang mereka cap dengan jari sedangkan mereka tidak tahu jika ternyata isinya merugikan mereka. Tapi beberapa bungkus kopi dan beberapa helai kain cukup untuk membuat mereka buta. Fenomena ini mengingatkan saya akan kontrak-kontrak kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan investor asing yang sudah ditandatangani berpuluh tahun silam. Isi kontraknya identik dengan kontrak antara orang rimba dengan orang kota. Dengan keluguan kita, banyak kontrak dengan investor asing yang cukup merugikan negara. Semoga pengalaman itu bisa menjadi pelajaran. Lagi-lagi mengutip perkataan sahabat saya, "Sesuai dengan definisi belajar, proses adaptasi yang berlangsung progresif sebagai akibat latihan dan pengalaman."
Kebetulan hari ini kita sedang memperingati Hari Guru Nasional. Kata Pak Bukik, "Guru tak pernah tergantikan dengan teknologi bila menjalankan peran kemanusiaannya. Namun, bila guru masih berlaku sebagai sumber pengetahuan yang serba benar, niscaya perannya akan tiada." Soe Hok Gie pernah sangat kecewa dengan sikap gurunya yang tidak mau terbuka terhadap kritik dan selalu menganggap jawabanya sendiri yang paling benar. "Guru yang tidak tahan kritik boleh dimasukan ke dalam tong sampah. Guru bukanlah dewa yang selalu benar. Dan murid juga bukan kerbau." kata Soe Hok Gie dalam hatinya.
Untuk guru-guru saya yang jasa-jasanya tidak akan mampu saya balas, untuk para Pengajar Muda yang menjadi lentera di pelosok-pelosok Indonesia, untuk semua guru yang dengan tulus mengajar dan mendidik murid-muridnya, dan untuk sahabat-sahabat saya yang telah memilih untuk mengabdi sebagai guru di rimba metropolitan, selamat Hari Guru Nasional.