Sayup-sayup pernah saya dengar diskusi panjang mengenai independensi pengawas sektor jasa keuangan, termasuk mengenai wacana pungutan yang membuat beberapa faksi mempertanyakan independensinya. Dengan lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), semestinya diskusi ini telah berkesudahan. Tetapi memang dalam setiap forum diskusi penyusunan rancangan undang-undang akan selalu ada yang tidak terpuaskan dan menjunjung tinggi pemeo “Ku tunggu di MK.”
Sebelum OJK lahir, pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan tidak menimbulkan beban biaya apa pun. Maka, ketika kemudian lahir OJK dan ada beban pungutan, sangat bisa dimaklumi jika ada faksi-faksi yang merasa keberatan, sampai mengajukan uji materi (judicial review) ke MK. Tetapi benarkah keberatan tersebut hanya butuh pemakluman? Jangan-jangan lebih dari itu.
Misteri Pungutan Bapepam-LK
“Yang Mulia, memang pada tahun 2007 itu Bapepam melakukan pungutan dari industri berdasarkan Undang-Undang Pasar Modal Tahun 1995 yang mengamanatkan bahwa Badan Pengawas Pasar Modal boleh melakukan pungutan dari industri yang diawasinya dan ini sudah dilakukan sejak tahun 2007, Yang Mulia.” terang Robinson Simbolon, mantan Deputi Komisioner OJK Bidang Pengawas Pasar Modal I yang saat itu menjadi saksi pihak terkait (OJK) pada sidang 17 Desember 2014.
“Saat itu untuk apa pungutan itu?” selidik Ketua Majelis Hakim, Hamdan Zoelva.
“Nah, pungutan itu digunakan untuk membiayai kegiatan apa ... Bapepam-LK melalui mekanisme APBN masih. Karena ketika itu Bapepam-LK masih bagian dari Kementerian Keuangan. Nah, tetapi Bapepam diberi kesempatan untuk menggunakannya dengan mengajukan permohonan khusus terhadap penggunaan dana yang diperoleh dari pungutan itu, Yang Mulia. Prosesnya seperti itu.” tegasnya di hadapan majelis hakim.
Sepertinya pungutan oleh Bapepam-LK yang dimaksud Robinson Simbolon adalah PNBP, mengingat pada saat itu Bapepam-LK merupakan salah satu unit di Kementerian Keuangan. Karena memang dalam PP Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Bersumber Dari Kegiatan Tertentu diatur bahwa Pimpinan Instansi Pemerintah dapat mengajukan izin penggunaan sebagian dana PNBP yang dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut melalui mekanisme APBN.
Namun, jika mengacu pada PP Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 1 Tahun 2013 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Keuangan, dalam Pasal 4 ayat (2) disebutkan “Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pengawas Pasar Modal untuk sanksi administratif berupa denda ditetapkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Pasar Modal.”
Artinya pungutan oleh Bapepam-LK sebagaimana yang dimaksud Robinson Simbolon hanya sanksi administratif berupa denda, bukan pungutan yang terkait dengan pengajuan perizinan maupun biaya tahunan untuk pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian sebagaimana yang saat ini dipungut OJK berdasarkan PP Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Siapa Untung Siapa Bayar
Jika ditengok dari sisi filosofisnya, Pungutan OJK mengadopsi prinsip “who gains, pays”, sehingga biaya operasional OJK ditanggung renteng oleh para pelaku industri, bukan oleh APBN. Biasanya keuntungan usaha lembaga keuangan hanya dinikmati oleh lembaga keuangan itu sendiri bersama dengan pemegang sahamnya. Padahal, jika lembaga keuangan tersebut bermasalah, justru menjadi beban seluruh rakyat Indonesia ketika suntikan dana APBN (bail out) digunakan untuk menyelamatkannya.
Di sisi lain, lembaga keuangan yang sangat besar yang bersifat sistemik memilki dampak yang lebih besar terhadap stabilitas sistem keuangan. Lembaga keuangan sistemik dikatakan too big to fail dan memiliki kemungkinan besar akan diselamatkan APBN. Maka dianggap sudah sewajarnya jika lembaga keuangan itu memberi kontribusi yang lebih besar pula daripada lembaga keuangan lainnya yang lebih kecil. Karena itu biaya tahunan untuk pengaturan, pemeriksaan, dan penelitian yang dikenakan terhadap pelaku industri sektor jasa keuangan menggunakan Tarif ad valorem, pungutan yang dikenakan terhadap perusahaan publik dan profesi penunjang yang dikenakan tarif spesifik.
Namun, prinsip “who gains, pays” terkesan diadopsi dengan setengah hati ketika Pasal 34 ayat (2) UU OJK mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Di dunia internasional, hanya ada dua macam sistem pembiayaan pengawas sektor jasa keuangan. Sistem yang pertama membebankan pembiayaannya kepada state budget atau APBN. Jepang termasuk negara yang menganut sistem ini. Sistem yang kedua, pembiayaannya dibebankan kepada pelaku industri sektor jasa keuangan. Sistem ini dianut dan diterapkan di Australia.
Tak Ramah
Menurut UU OJK, pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional secara mandiri, OJK tetap menggunaan pembiayaan yang bersumber dari APBN, termasuk jika seandainya putusan MK nanti membatalkan pasal pungutan.
Dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) ada yang disebut Standar Biaya Umum (SBU) yang sekarang diganti dengan Standar Biaya Masukan (SBM). SBM adalah satuan biaya berupa harga satuan, tarif, dan indeks yang ditetapkan untuk menghasilkan biaya komponen keluaran. Dalam penyusunan RKA, SBM berfungsi sebagai batas tertinggi atau estimasi. Culasnya, dalam Pasal 35 ayat (2) UU OJK dinyatakan bahwa ketika OJK menggunakan pembiayaan yang bersumber dari APBN, pembiayaannya dikecualikan dari SBM.
Kenyataannya, hanya OJK yang menggunakan dana APBN tetapi memiliki standar biaya sendiri yang jauh di atas SBM. Padahal penggunaannya pun tidak begitu optimal. Tahun lalu saja, dari total anggaran sebesar Rp2,4 triliun yang bersumber dari APBN 2014, penyerapan anggaran hingga 1 September 2014 baru terealisasi sebesar 43,47%. Jelas ini tidak ramah terhadap APBN karena seluruh rakyat Indonesia harus menanggung biaya operasional pengawasan industri sektor jasa keuangan yang sedemikian mahalnya. Padahal keuntungan usaha lembaga keuangan hanya dinikmati oleh lembaga keuangan itu sendiri bersama dengan pemegang sahamnya.
Selain itu, sumber pembiayaan OJK yang berasal dari pungutan yang membebani pelaku industri sektor jasa keuangan dianggap membebani masyarakat karena beban pungutan tersebut pada akhirnya akan jatuh ke tangan masyarakat. Pungutan dengan flat rate yang didasarkan pada pendapatan usaha, aset, dana kelolaan, dan lain-lain sebagaimana diatur dalam PP Pungutan OJK juga tidak ramah, karena sama belum tentu adil.
Sebagai lembaga pengawas, sudah semestinya OJK memiliki sistem pemeringkatan risiko. Peringkat risiko tersebut dapat dijadikan salah satu komponen penghitungan tarif pungutan, sehingga lembaga keuangan dengan risiko yang tinggi membayar pungutan yang tinggi pula. Karena tentu saja pengawasannya pun lebih intensif, sehingga biaya yang diperlukan pun menjadi lebih tinggi. Jangan alih-alih memberikan manfaaat yang nyata, pungutan OJK justru malah menjadi tambahan beban ekonomi bagi masyarakat.
Indikasi ketidakramahan pungutan OJK ini juga dirasakan pihak internal. Tidak sedikit yang mundur dari OJK karena menganggap sistem yang membebankan pembiayaannya kepada pelaku industri sektor jasa keuangan tidak sejalan dengan idealismenya.
Secabik Asa
Pada 5 Desember 2014 Ketua Dewan Komisioner OJK melayangkan surat kepada Menteri Keuangan untuk menyampaikan usulan amandemen PP Pungutan OJK. Mendengar kabar tersebut, kami, rakyat jelata, memiliki secabik asa mengenai pungutan OJK yang lebih ramah terhadap semua faksi: ramah terhadap APBN, ramah terhadap pelaku industri, pun ramah terhadap internal OJK itu sendiri. Kami ingin melihat bukti nyata kemaslahatan hadirnya organisasi super di republik ini.