zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Jejak Gudang Garam


Produksi garam lokal hanya mampu mencukupi seperlima kebutuhan garam dalam negeri. Sisanya, kita masih harus impor. Padahal, Indonesia adalah negara ke dua, setelah Kanada, yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia: 54.716 km. Garis pantai sepanjang itu menjadikan garam sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat potensial. Mestinya, Indonesia mampu menjadi eksportir garam, atau paling tidak mampu mencukupi kebutuhan garam dalam negeri.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa garam memang pernah menjadi komoditi ekspor. Dari masa kejayaan itu, kemudian kita mengenal Madura sebagai Pulau Garam. Kisah kehidupan masyarakat petambak garam Madura bisa ditarik mundur hingga jauh sebelum kapal-kapal VOC berlabuh. Ada kisah tentara dari Bali yang gagal menaklukkan Madura lalu kemudian menetap di Desa Pinggir Papas dan menjadi petambak garam.

Bukti masa keemasan industri garam Madura dapat dilihat dari peninggalan kompleks pabrik, gudang, dan perumahan rancangan kolonial Hindia Belanda yang kini menjadi milik PT Garam. Pun dalam kemasan rokok Gudang Garam. Rel dan gudang yang tergambar dibungkus rokok itu ada di Sumenep. Keberadaan kereta api di Pulau Garam pada mulanya memang hanya untuk angkutan garam antara Kalianget, Sumenep, dan Kamal, Bangkalan.

Indonesia, yang pada pertengahan tahun 1990-an telah berhasil mencapai swasembada garam konsumsi, sekaligus menyandang predikat eksportir garam, pun kini terpaksa  mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan dapurnya sendiri. Lantas, apa yang sebetulnya membunuh industri garam rakyat hingga membuat petambak garam termarjinalkan?

Marjinalisasi petambak garam dimulai sejak Akzo Nobel menggagas kampanye besar-besaran penggunaan garam beryodium di Indonesia. Sentra garam nasional berguguran. Lahan tambak garam terbengkalai. Produksi nasional turun drastis. Ribuan petambak kehilangan mata pencaharian. Sebaliknya, keran impor garam mengalir deras, terus membanjir, hingga kini.

Akzo Nobel adalah perusahaan multinasional dengan 18 unit usaha di bidang kesehatan, cat, dan kimia. Perusahaan yang berkantor pusat di Belanda itu beroperasi di lebih dari 80 negara. Tahun 2004, omzet penjualannya mencapai 13 miliar euro. Akzo Nobel telah memproduksi garam beryodium sejak tahun 1918. Empat pabriknya di Eropa dan Australia saja mampu memproduksi 2 juta ton garam per tahun.

Kampanye garam beryodium Akzo Nobel di Indonesia cepat mengakar sebab turut melibatkan United Nations Children’s Fund (UNICEF) dan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. UNICEF turut mengeluarkan fatwa bahwa salah satu asupan penting di masa persiapan tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan adalah garam beryodium.

UNICEF pernah mengutus Tim Peneliti Konsumsi Garam, yang diketuai oleh Dr. Justus Martin de Jong, ke Indonesia. De Jong kini menjabat manajer Akzo Nobel. Pemerintah kemudian melegitimasi fatwa UNICEF dengan menerbitkan Keppres Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium.

Keppres tersebut kemudian dijabarkan dalam SK Menteri Perindustrian Nomor 29 Tahun 1995 tentang Pengesahan Serta Penerapan Standar Nasional Indonesia dan Penggunaan Tanda SNI Secara Wajib Terhadap 10 (Sepuluh) Macam Produk Industri. Ada pula SK Menteri Perindustrian Nomor 77/M/SK/5/1995 tentang Penyataan Teknis Pengolahan, Pengemasan, dan Pengolahan Garam Beryodium.

Di tahun-tahun berikutnya, Komite Nasional Garam dibentuk. Lallu di tahun 2001, Bank Dunia menggelontorkan sejumlah dana untuk standardisasi perusahaan garam. UNICEF pun ikut mengalokasikan dana guna menarik peredaran garam non-yodium. Sayangnya, keseriusan pemerintah dalam mendukung kampanye garam beryodium tidak dibarengi dengan keseriusan dalam merawat tunas-tunas industri nasional, melalui subsidi, teknologi, riset, dan pengembangan serta proteksi harga dan pengawasan impor yang ketat.

Akibat kampanye Akzo Nobel, produsen garam rakyat harus berhadapan langsung dengan korporasi multinasional yang sudah jauh lebih mapan. Akibatnya, garam rakyat menjadi produk asing di negeri sendiri. Negara yang pernah berjaya sebagai produsen garam pun sekarang malah menggantungkan 80 persen kebutuhan garamnya dari pasokan impor.

Harapan mulai tumbuh ketika tujuh purnama yang lalu Pemerintah bersama DPR baru saja mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Kelahiran UU ini menunjukkan keseriusan komitmen pemerintah untuk mensejahterakan kehidupan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. UU ini mewajibkan pemerintah pusat dan daerah merencanakan ruang kehidupan dan akses kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam kecil.

Senada dengan itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, pun berencana melakukan uji laboratorium garam Madura ke luar negeri untuk mengetahui kualitasnya. “Selama ini selalu dibilang kualitas garam Madura tidak bagus. Padahal setelah saya lihat sendiri secara langsung di sini, kualitasnya sangat bagus.” ujarnya di hadapan para petambak garam di Pamekasan, Madura.

Selain garam, masih ada kopra, gula, jamu, kretek, dan komoditas lokal lain yang bernasib serupa. Kedoknya sama. Ada isu “mulia”. Dalangnya sama. Ada segitiga raksasa: korporasi multinasional, negara maju, dan lembaga internasional. Modusnya sama. Ada persaingan dagang yang dilegitimasi dengan kebijakan pemerintah. Hasilnya sama. Ada kehancuran komoditas unggul nasional. Inilah neokolonialisme yang pernah diwanti-wantikan Bung Besar dalam Pidato Genta Suara Republik Indonesia.
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar

  1. Kaya SDA blm tentu juga jadi keunggulan kompetitif yaa?

    BalasHapus