zORB44u1Y5Szogk9hvRg5anbZDydcDDjseaSpgOw

Hoaks Melulu


Di antara jenis kebohongan adalah kebohongan yang samar. Yakni ketika seseorang menyebar informasi dari orang yang tak diketahui apakah ia bohong atau tidak.” -Imam Syafi'i

Pada satu masa, Ucen menghadap Gajah Mada untuk menyerahkahn revisi paragraf ke sembilan draf naskah Sumpah Palapa. Namun, sang patih kembali mencoret draf itu, pada paragraf pertama. Padahal paragraf pertama itu adalah hasil corat-coret sang patih.

“Maaf Patih, bukannya paragraf pertama ini sudah sesuai dengan arahan patih pada hari Senin kemarin? Ini salah di mananya lagi ya, Patih?” Ucen bertanya sambil menunjukkan coretan Gajah Mada pada sore hari sebelumnya.

Sang patih pun dengan tegas, “Lho, itu kan kemarin, sekarang sudah ada kitab baru lagi karangan Mpu Krewes (red: Mpu Krewes alias Arya Tadah adalah Patih Majapahit sebelum Gajah Mada), paragraf pertamanya harus diperbarui lagi.”

“Tapi Patih, itu kan kitab terbitan Balai Rakyat lima tahun lalu. Penebitnya saja sudah lama gulung tikar.”

“Lho, patihnya itu saya apa kamu, Cen?” jawab sang patih sambil menggeser kerisnya.

Ucen cuma bisa pasrah ketika diskak mat dengan Argumentum ad Verecundiam. Ucen pun sempoyongan keluar dari ruang kerja Patih Mataram itu. Tampaknya, itu bukan coretan revisi terakhir yang harus dikerjakan Ucen, karena kemudian kita tahu Sumpah Palapa hanya satu paragraf, satu kalimat bahkan: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".

Argumentum ad Verecundiam yang digunakan Gajah Mada tadi tidak jarang kita temukan dalam berpendapat atau berlogika. Awalnya, saya kira ini serupa ego semata karena superior dalam hal tertentu, bukan sebuah logical fallacy. Ternyata ini termasuk logical fallacy. Ini terjadi pada seseorang yang dianggap pakar dalam suatu hal. Otoritas kepakaran seseorang diakui sebagai sesuatu yang pasti benar walau belum tentu relevan. Cara berlogika seperti Gajah Mada itulah bentuk Argumentum ad Verecundiam.

Masih banyak logical fallacy yang kerap kita temui dalam perdebatan sehari-hari. Apalagi di era ketika berita bohong (hoax) berserakan di mana-mana. Selain Argumentum ad Verecundiam, yang juga sering adalah Argumentum ad Hominem, Straw Man, Red Herring, dan Two Wrongs Make a Right. Lebih lengkapnya bisa dibaca di nobeliefs.com dan di yourlogicalfallacyis.com. "You don't need to take drugs to hallucinate; improper language can fill your world with phantoms and spooks of many kinds." Demikian Robert A. Wilson pernah berujar.

Orang Indonesia sepertinya lebih suka membaca berita bohong daripada membaca buku. Padahal tameng buat melindungi diri dari hujaman berita hoax yang kini sebarannya kian hari kian meluas dan sistematis adalah dengan menggencarkan budaya membaca. Bung Hatta pun pernah bilang “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Bung Hatta mencintai buku karena buku adalah gawai pembebasan dari belenggu kebodohan.

Selain Bung Hatta, ada pula Tan Malaka. Dalam Madilog, Tan Malaka pernah menulis. “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.” Kalimat ampuh itu kini bisa kita temukan tertulis di kaca jendela Post Santa, satu kios buku di Pasar Santa.

Bahkan di tepi sungai Nil, para Firaun tidak membangun kekuasaannya dengan bermodalkan kekuatan militer saja. Saat berkuasa, Firaun memiliki perpustakaan pribadi dengan 20.000-an koleksi buku. Bung Karno pun memiliki segudang pengetahuan luas akan kebangsaan, lengkap dengan jiwa kepemimpinan dan kemampuan berpidato yang berapi-api, mustahil jika bukan karena buku dan kegemaranya membaca dan menulis. Sang guru, Tjokroaminoto, yang memperkenalkan Soekarno muda dengan buku. Tan Malaka, Bung Hatta, dan Bung Karno bahkan telah banyak menulis buku.

Central Connecticut State University, Amerika Serikat, pada 9 Maret 2016 lalu merilis hasill penelitiannya yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked. Sedihnya, penelitian itu menyebut Indonesia di urutan ke-60 dari 61 negara berdasarkan tingkat literasi membaca. Rapor Indonesia masih merah dalam uji keterampilan membaca di level internasional tersebut.

Milan Kundera, novelis Republik Ceko itu, pernah bilang “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.” Di Indonesia, saat ini, belum ada tanda-tanda akan adanya penghancuran buku. Namun, rapor merah dalam literasi ini mestinya sudah membikin kita sadar.

Ini sudah penghujung tahun. Sudah berapa banyak buku yang kita baca di tahun 2016 ini? Sangat ironis jika dalam rentang satu tahun ke belakang tidak satu bukupun kita baca tuntas di saat sudah ratusan bahkan ribuan berita hoax telah kita baca dan bagikan. Sedihnya lagi, kemampuan menulis kita masih rendah. Padahal kita sedang terendam dalam banjir teknologi dan kemudahan akses untuk menulis.

Yuk baca buku, jangan berita hoax melulu!
Baca Juga
Abah
Generasi Micinial

Artikel Terkait

2 komentar

  1. Hiks.. jadi berkaca diri, sedikit buku yg ku baca di tahun ini :(

    BalasHapus
  2. Hiks.. sama.. belum satu judul buku punyg aku baca

    BalasHapus